Diposkan pada Japan and Japanese

(J-Corner Ep.9) Comfort J-Pop

Halohaa!

Seperti biasa, saatnya J-Corner lagi. Postingan kali ini diposting di awal bulan atas request Ibu Eya yang kembali sibuk mencari cuan setelah libur lebaran. 😆

Untuk postingan kali ini, meskipun judulnya agak ambigu, seperti yang sudah dijelaskan di awal-awal series J-Corner, J-Pop di sini tentu saja tidak hanya fokus pada musik, tapi juga pada semua produk-produk kebudayaan populer di Jepang, termasuk di dalamnya bacaan dan tontonan.

Ngomong-ngomong tentang comfort, teman-teman sudah sering, kan, ya, mendengar kata comfort food. Kalau berdasarkan Collins Dictionary, comfort food adalah frasa informal yang menunjukkan makanan yang menimbulkan perasaan nyaman, kepuasan secara emosional, atau nostalgia saat memakannya. Kalau bagi saya, comfort food berarti makanan yang saya makan, saat nggak tau harus makan apa. Ujung-ujungnya makan yang itu-itu lagi. *all hail to nasi telur ceplok pakai sambal 😆*

Yah, nyaman sama mager kadang beda tipis emang. Wkwk.

Begitu juga dengan budaya populer. Terutama dengan semakin bertambahnya usia, biasanya semakin stuck juga keinginan untuk mengeksplor dunia hiburan. Ujung-ujungnya balik lagi mendengarkan musik, membaca buku, atau menonton yang itu-itu aja.

Kali ini, tentu saja saya dan Eya akan membahas comfort zone kami mengenai budaya populer Jepang. Hal-hal yang bisa dikatakan ‘tempat kembali’ saat bosan atau lelah dalam ‘petualangan’ mengeksplor musik, bacaan, dan tontonan yang sedang hype.

Baca punya Eya juga di sini, ya… 😊

Sejujurnya, saya sendiri sebenarnya jarang merasa harus kembali ke musik, bacaan, atau tontonan yang comfort, kecuali saat sedang tidak ada akses pada hal-hal yang baru, dan untuk budaya populer Jepang, ini biasanya terjadi saat sedang tidak berada di Jepang. Maklum, hiburan Jepang yang baru-baru biasanya susah aksesnya. Jangankan yang legal, yang ilegal aja butuh effort.

Karena itu, kalau sedang berada di luar Jepang untuk waktu yang agak lama, biasanya ujung-ujungnya saya kembali pada apa yang sudah dimiliki, alias hasil donlod-an jadul, sebagai hiburan zona nyaman saya. Huehehe.

Musik

Gara-gara tema kali ini, saya baru kepikiran, musik yang jadi comfort zone saya itu apa, ya? *malah nanya 😆* Karena memang sehari-hari cukup jarang mendengarkan musik. Paling kalau lagi berasa ‘sepi amat nggak ada suara’, atau saat lagi jalan bareng si doi yang selalu menyetel playlist dari ponselnya. Kalau kebetulan ada lagu yang pengen saya dengar, tapi nggak ada di playlist, saya tinggal request, ntar dia search dan beli di Apple Music.

Ditambah lagi saya jarang eksplor musik baru. Paling baru ngeh kalau ada yang jadi soundtrack dorama atau lagi rame di timeline. Jadi semakin bingung lah ini. 🙈🤣

Kayaknya, sih, kalau diingat-ingat lagi, sepertinya musik yang paling sering tiba-tiba pengen saya dengerin itu beberapa lagu dari Monkey Majik, GReeeeN, atau Ikimonogakari.

Untuk Monkey Majik, saya ternyata pernah bikin blogpost khusus tentang mereka, dan usia postingannya udah satu dekade aja. Semakin menandakan kalau mereka salah satu comfort music tempat saya kembali. Eaa…

Begitu juga dengan GReeeen dan Ikimonogakari yang keduanya pun saya ketahui dari soundtrack dorama. Ikimonogakari dengan lagunya Arigatou yang jadi OST asadora Gegege no Nyoubou dan GReeeeN dengan lagu Kiseki yang jadi OST Rookies.


Bacaan

Nggak cuma musik, beberapa orang juga memiliki comfort book, buku yang membuat nyaman dan seperti menjadi ‘tempat kembali’ saat ‘lelah’ dengan bacaan yang ada.

Zaman masih abege, comfort book saya itu buku-buku kumpulan puisi karya Kahlil Gibran. Mungkin karena baru sebentar hidup di dunia, jadi overthinkingnya beraaat. 🤣 Kalau dipikir-pikir sekarang, kayaknya karena baru ‘menghadapi’ dunia juga jadi memiliki sisi sok edgy. Gaya beut mikirin dunia, duit aja masih dari ortu. Wkwkwk.

Sekarang, sih, kalau bingung mau baca apa, baliknya tentu saja ke Kocchimuite, Miiko! alias Hai, Miiko!

Dahlah, nggak mau mikir yang berat-berat. Mending baca Miiko aja. Eh, tapi jangan salah, walau komik Miiko digambarkan dengan ringan, tapi tetap ada banyak pelajaran kehidupan di dalamnya, kan? 😉


Tontonan

Ngomongin budaya populer, nggak cukup kalau belum ngomongin tontonan. Dan sampai saat ini comfort dorama saya masih the one and only Hanazakari no Kimitachi e alias Hana Kimi! 😆

Seperti dalam tulisan Doramatalk yang ini, Hana Kimi termasuk dalam salah satu dari lima dorama yang saya pilih kalau saya hanya boleh menonton lima judul saja. Dan Hana Kimi ini juga yang saya re-watch dari awal sampai akhir lebih dari dua kali. Sesuka itu!

Meskipun kalau dilihat-lihat sekarang, kualitas dari production value-nya tentu jauh tertinggal dengan standard zaman sekarang. Yaa, maklum, ini series jadul, udah lebih dari 15 tahun yang lalu. Rambutnya aja masih jamet benerrr. 🤣🤣🤣

Tapi, entah kenapa, nggak pernah bosan melihat interaksi, bromance, sampai bagaimana cara para siswa di sekolah asrama khusus laki-laki ini menyelesaikan masalah-masalah mereka dengan kocak dan lawakan ala manga.

Kalau dibandingkan sama kehidupan nyata, sih, mungkin lawakan slapstick-nya bagi yang tidak terbiasa akan terasa lebay, ya… Tapi, nggak tau kenapa, bagi saya, mereka membawakannya dengan pas. Aktingnya ‘dapet’ banget. Walau udah ditonton berapa kali pun, tetap terasa lucu. Kadang kan ada tuh, tontonan yang pas ditonton untuk kedua kalinya, kok, feel-nya malah nggak dapet. Tapi, nggak dengan Hana Kimi bagi saya. Tetap saja bikin saya ketawa ngakak. 🤩

Favorit saya masih Nakatsu Shuichi, si ace klub sepak bola dari dorm 2, yang awalnya merasa Ashiya Mizuki saingannya, eh, malah terjebak perasaan sendiri dan menyangka dirinya homo karena berbalik menyukai Ashiya.

FYI, Ashiya ini FL yang menyamar jadi murid di sekolah khusus laki-laki tersebut, karena memiliki misi mengembalikan Sano Izumi ke lapangan. Sano ini si ML yang juga mantan atlet lompat tinggi yang berhenti karena cedera setelah menyelamatkan Ashiya.

And Yes, Nakatsu ini bisa dibilang 2nd Lead Syndrome pertama saya. *spoiler alert 🤣*

Oh iya, dorama ini juga jadi jalan bagi beberapa aktornya untuk punya nama di dunia akting di Jepang, seperti Ikuta Toma (yang jadi Nakatsu), Okada Masaki, dan Mizushima Hiro.

Selain itu, sedikit trivia, nama-nama di dorama ini (dari manga-nya sih sebenarnya hhe), diambil dari nama-nama stasiun di daerah Kansai, lho… 😆

Saya sendiri dulu tinggal dekat stasiun Ashiya. Awalnya saya kira kebetulan, ternyata memang Nakajo-sensei, mangaka komiknya yang berasal dari Prefektur Osaka (masuk dalam wilayah Kansai), sengaja memberi nama tokoh-tokoh dalam karyanya dengan nama-nama stasiun. Sebut saja Namba, Tennouji, Izumisano (di doramanya dibalik jadi Sano Izumi, sih, tapi XD), bahkan nama sekolahnya pun Osaka High School dan Tokyo High School. Biar gampang diingat kali, ya? 🤣

Kalau teman-teman berkesempatan main ke daerah Kansai seperti Osaka, Kyoto, Kobe, coba iseng-iseng dicek nama stasiunnya. Siapa tau ternyata juga jadi salah satu nama tokoh di dorama ini. 😉


Yak, kurleb begitulah, budaya populer zona nyaman saya.

Kalau teman-teman, adakah musik, bacaan, atau tontonan yang jadi comfort zone kalian?

Sampai jumpa di postingan selanjutnya~~ 😘

Penulis:

To many special things to talk about... =p

Tinggalkan komentar