Diposkan pada Japan and Japanese

(J-Corner Ep.11) Tentang Live Action: Opini dan Rekomendasi

Hola, gaes!

Ketemu lagi dengan J-Corner. Bulan lalu libur karena Eya jungkir-balik sama kerjaan. Alhamdulillah, sepertinya event yang disiapkan berjalan lancar. 🤗

Eniwei, kali ini kami akan membahas tentang Live Action. Karena sejak One Piece Live Action (OPLA) dirilis di Netflix dan rame diomongin, kontroversi mengenai Live Action mencuat lagi. Terutama oleh penggemar karya originalnya. Sebenarnya, sih, karya ori-nya itu dari manga. Tapi, entah kenapa, fans animenya lah yang lebih berisik.

Emang udah terkenal sih kayaknya, penggemar anime ini lebih banyak yang merasa superior, terutama terhadap karya-karya Live Action (LA). Yang katanya akting dan properti dimainkan oleh orang beneran nggak cocok dan jadi cringe gitu lah... Tapi yang bikin heran, kalau dibuat mendekati real life dan jadi nggak sesuai anime, tetap banyak juga yang protes. Padahal, dipikir-pikir sebagian besar anime juga sebenarnya kan karya adaptasi dari manga, ya. Tapi, kenapa pada banyak yang merasa superior, ya?

Sungguh di luar nurul, bikin ku tak habis fikri

(OOT, ini kenapa nurul sama fikri jadi dibawa-bawa, yak? 😅)

Baca juga punya Eya di sini, ya… 😉

Kalau saya pribadi, berhubung bukan fans anime, dan bisa dibilang setelah jadi anak kos, sangat jarang menonton anime, opini saya tentang LA belum pernah bersentuhan langsung dengan animenya. Mau se-cringe apa pun kata fans anime, kalau cocok di saya mah hajar bleh.

Lagi pula, kalau dipikir-pikir bisa jadi ekspektasi lah yang bisa membuat suatu karya mengecewakan, saat kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi dari imajinasi yang dibangun sendiri. Dan herannya, dari sekian banyak bentuk LA, mulai dari yang diadaptasi dari manga, novel, komik Marvel dan DC, bahkan sampai Webtoon, entah kenapa yang reseh itu banyak terlihat dari penggemar anime. Hmm… Kira-kira kenapa, ya, banyak fans anime yang mempunyai ekspektasi dan akhirnya mereka sendiri pula yang membuat LA ‘terasa’ jelek?

Mungkinkah karena ekspektasi dari imajinasi yang mereka buat sendiri itu yang menyebabkan pada akhirnya saat LA yang diproduksi ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, jadi lah pada ber-koarkoar kalau LAnya jelek.

Atau, bisa jadi juga memang dari awal sudah antipati sama LA. Jadi, mau sebagus apapun si LA, bakal tetap dianggap jelek?

Susah, sih… menyenangkan semua pihak.

Padahal baik anime maupun LA itu kan tujuan utamanya untuk entertainment, ya. Kalau malah bikin gengges, ya, mending nggak usah ditonton dong, ah. Saya malah rispek sama yang dari awal nggak mau nonton LA, karena nggak pengen merusak imajinasinya. Daripada yang nonton cuma buat ngejelek-jelekin. <— Wow… banyak waktu luang, ya, Anda? Wkwk.

Kesimpulannya, untuk LA mah, in my opinion, tontonlah dengan menganggapnya entitas terpisah dari animenya (juga dari karya originalnya, misalnya manga ataupun novel). Jadi, bisa menilai dengan lebih obyektif tanpa harus membanding-bandingkan dengan karya originalnya.

Baiklah, cukup dengan opininya (yang lebih kayak ranting, sih… Wk). Sekarang, markijut (mari kita lanjut) dengan rekomendasi LA yang menurut saya bagus.

Oh, iya! Beberapa judul di bawah ini saya hanya akan tulis kenapa saya jadikan rekomendasi. Jadi, nggak akan saya tulis tentang sinopsisnya. Tapi, ntar saya kasih link ke page buat baca sinopsisnya, kok.

Oh iya, berpotensi SPOILER, yaa. 😁

Untuk cast dan sinopsisnya bisa dibaca di sini.

Franchise laga yang dibintangi oleh Satoh Takeru ini, termasuk satu dari sedikit LA yang cukup diterima oleh fans animenya. Kalau saya pribadi, kenapa merekomendasikan judul ini karena:

Koreografi actionnya sungguh TOTALITAS! Padahal kadang, kan, adegan bertarung itu rada tricky, ya… Kalau kepanjangan suka bikin mikir “Duh… ini kapan selesai berantemnya, sih?”

Tapi, tidak dengan film yang sudah dirilis dengan lima sub-judul ini. Gerakannya indah, temponya cepat, tapi tetap enak dilihat, dan tidak terlalu gore.

Selain adegan pertarungannya, alurnya juga cukup oke. Nggak terus-terusan bertarung, tapi ada komedinya juga, ada hawa-hawa creepy-nya juga (terutama saat Shishio muncul), dan ada romance tipis-tipisnya juga.

Paling yang agak mengganggu di saya, itu timeline dari filmnya. Film terakhirnya itu menceritakan Himura Kenshin saat masih menjadi pembunuh berdarah dingin, Hitokiri Battousai. Tapi, karena syutingnya sebagai film terakhir, jadi pemeran utamanya malah terlihat lebih tua daripada saat di film pertamanya.

Cuma itu aja, sih. Yang lainnya saya sangat menikmati.

Film ini juga sudah bisa ditonton di OTT, lho. 😉

Kalau suka dengan romcom yang fluffy dengan premis enemies-to-lovers, dorama satu ini cocok banget untuk ditonton. Agak disayangkan, karena versi dari negara aslinya malah yang paling kurang populer. Biasalah… nggak ditayangin di luar Jepang (CMIIW).

Saya sendiri sangat suka dengan versi Jepang ini. Bukan karena Jepangnya atau karena paling mirip dengan karya orisinilnya (kayaknya nggak, sih, malah menurut saya versi Taiwan yang pertama yang mirip banget sama manga-nya, terlepas latarnya berubah jadi anak kuliahan). Tapi, karena pengembangan karakternya yang pada akhirnya nggak ada yang 100% jahat, selayaknya manusia biasa. Bahkan si ibu MLnya pun, yang awalnya jadi main villain, di finalnya (film sih tapi), akhirnya hanyalah ibu-ibu sayang anak (dan sayang calon mantu) biasa.

Akting para pemainnya juga sudah tidak perlu diragukan lagi. Sesuai tema (romcom anak sekolahan ala Jepang) dan sesuai karakternya. Walaupun mungkin berasa aneh, karena MLnya paling kuat tapi paling chibi alias pendek. Wkwk.

Tapi, di mata saya, nggak ada yang lebih cocok memerankan Doumyouji selain Matsumoto Jun. Ibaratnya, peran tersebut diciptakan untuk dimainkan olehnya.

Makino Tsukushi-nya kuat (fisik dan mental), tapi imut dan baik hati. Begitupun peran-peran lainnya, sampai ke keluarga Doumyouji dan Makino-nya pun sangat humanis dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Bagi yang belum terbiasa dengan romcom Jepang, mungkin akan kurang cocok dengan ke-fluffy-an dan ke-kawaii-an akting karakter-karakternya. Pun dari properti yang dipakai juga mungkin bakal terasa lebay, jika ditonton saat ini (season 1 dirilis tahun 2005), tapi buat saya pribadi, dorama ini jadi satu dari sedikit dorama yang tetap asyik untuk di-rewatch.

Sinopsis dan cast-nya bisa dilihat di sini.

Kalau series yang satu ini, sepertinya jadi salah satu (dari sedikit) dorama Jepang yang cukup populer secara global. Berkisah tentang Alice yang pengangguran, tiba-tiba terdampar di Borderland. Tipikal survival game series, bermain games demi bertahan hidup. Nggak hanya penuh darah, tapi juga strategi, taktik, hingga emosi yang diobok-obok sampe puasss. Kenyang dah sama semuanya.

Sudah ada 2 season, dan endingnya pun memuaskan banget!

Semuanya jadi terasa masuk akal. Terutama kenapa sampai ada yang udah ditembak revolver berkali-kali tapi nggak mati-mati juga. Wkwk.

Nggak bisa ditonton saat hanya mencari hiburan yang ringan-ringan, sih… Karena series ini cukup berat. Dialognya bernas, meleng dikit berisiko jadi hah-hoh. Gamesnya filosofis, bahkan untuk games yang paling sederhana sekalipun. Sungguh menambah khasanah kehidupan. Tak lupa action-nya juga intens dan cukup gore.

Kalau lagi hopeless, nonton ini lumayan bikin mata terbuka, bahwa sepahit-pahitnya hidup, segimana pun pengen cepet mati, ternyata bahkan dengan hanya hidup itu sendiri pun adalah satu hal yang patut disyukuri.

Production value-nya juga nggak main-main. Pokoknya one of the best series I’ve ever watched.

Auk, ah, kalau dikatain bias pun. Karena sesuka itu saya sama series ini. 💕

Sinopsisnya bisa dilihat di sini. Spoiler alert! Karena di web tersebut sinopsis dibikin per episode.

Film yang diangkat dari novel Cafe Funiculi Funicula ini berkisah tentang kafe yang memiliki meja ‘ajaib’ yang dapat mengantarkan ke masa lalu. Tapi, ada banyak syaratnya, dan masa kini juga tidak bisa diubah, meskipun masa lalu tersebut telah berubah.

Saya rekomendasikan film ini, karena dibikin dengan cantik dan jalan ceritanya juga lebih lengkap dan menyentuh hati (bagi saya). Padahal kan ada ‘hantu’ penjaga meja ajaib tersebut, kan, tapi nggak ada hawa-hawa horror-nya sama sekali.

Color grading dari filmnya sendiri tidak dibuat terasa menyeramkan, meskipun kalau baca di novelnya, kafe tersebut terasa ‘dingin’ karena posisinya yang berada di basement. Cukup terang dan nyaman untuk ditonton.

Yang saya suka, endingnya dibuat ‘menyentuh’ dengan pas.

Salah satu alasan saya kesemsem sama film dan dorama Jepang, tuh, ya ituuu… bahkan untuk produksi imajinatif sekalipun, bisa aja gitu dibikin terasa realistis. 🤗

Sinopsisnya bisa dibaca di sini.

Filmnya sendiri dulu saya tonton di JFF, tapi ini saya nemu di Prime Video. Area Jepang, sih. Mudah-mudahan ada di Global juga. Hehe.


Demikian opini dan rekomendasi saya untuk Live Action dari budaya populer Jepang.

Kalau menurut teman-teman sendiri bagaimana?

Sampai jumpa di postingan berikutnya~~😘

Penulis:

To many special things to talk about... =p

12 tanggapan untuk “(J-Corner Ep.11) Tentang Live Action: Opini dan Rekomendasi

    1. Iyess… dari tahun 96, sampai sekarang kurang relevan lagi karena sudah pada sadar kalau kelakuan MLnya itu red flag wkwk

  1. Tadi aku sempet bingung mba, Live action ini opo, apa nama serial baru atau movie baru 😅. Oh ternyata kisah adaptasi dari manga atau anime atau Webtoon dlm bentuk realita yaaa

    Aku memang jarang nonton LA, tapi kalo diadaptasi dari buku atau anime fav ku, biasanya aku ttp nonton, walo ga mau ekspektasi tinggi. Takut kecewa aja. Jadi mending sekedar nikmati ajalah 😄.

    Ada perbedaan ya biasa. Mana ada LA yg plek ketiplek sama dengan buku atau animenya 😁

  2. Hicha makasih udah mau nungguin aku yang jungkir balik ga bisa multitasking ini 😭😭

    Concern kita sama yaa wkwkk kenapa fans anime yang lebih berisik (atau bisa dibilang paling berisik) padahal anime juga kebanyakan merupakan adaptasi dari manga/novel, mereka aja kadang suka merasa anime nomer satu 😌😌

    Aku juga setuju dengan menikmati LA sebagai entitas yang berbeda dari anime, ga usah dikait-kaitin atau dibanding-bandingin karena enggak mungkin 100% sama 🙏🙏

    1. Sama-sama, Eyaaaa
      Pas aku jungkir balik baru lahiran kemarin juga ditungguin ini sama Eya 😉

      Itu diaaa, suka heran aku sama yang merasa superior sampai merendahkan itu tuh pola pikirnya gimana, dah… kata bahasa meme mah mansetnya kenaa wkwk

  3. Before The Coffee Gets Cold nggak ada di Prime Indo, Kak Hicha 😭. Kalau ada, aku mau nonton juga soalnya udah baca bukunya dan cukup sukaaa dan kayaknya film ini diambil dari buku jilid 1 dan 2 makanya kayak ada yang beda katanyaa.

    Iya sayang banget deh Hana Yori Dango tuh nggak sehits Meteor Garden 😦 waktu dulu aku selesai nonton MG, aku baru tahu kalau ini dari manga dan ada doramanya. Eh, tapi, Kak, MG ada yang versi 2020 yang lebih modern tapi latarnya anak SMA wkwk. Entah masih sama dengan manganya kah.

    Aku setuju banget dengan Kak Hicha. Ekspetasi itu yang bikin suatu karya mengecewakan. Baik berupa tontonan atau bacaan, seringkali kita kecewa karena nggak sesuai ekspetasi. Makanya aku kalau baca buku seringnya nggak expect apa-apa biar lebih bisa menikmati ceritanya. Kalau nonton film adaptasi, agak sulit untuk benar-benar memisahkan apa yang kita tonton dengan apa yang udah dibaca sebelumnya, tapi aku biasanya tidak expect apa-apa saat nonton film adaptasi, lebih kearah pengin tahu penggambaran adegannya kayak gimana sih kalau berdasarkan bayangan asli penulis (karena dipikiranku kalau film adaptasi melewati proses screening penulis ya).

    1. Yah… kukira Prime itu lebih open, ga kayak OTT lain yg per regional juga heuu… Iya kali, ya… aku belum baca buku kedua. Tapi, emang buku pertama tuh asa ada yang kureng.

      Padahal HanaDan tuh sebenarnya udah LAnya dari sebelum Meteor Garden (versi film sih tapi) dan kabarnya juga MG itu awalnya jatuhnya plagiat, karena ga beli lisensi HanaDan. Yang 2020 itu versi Taiwan juga kah? Aku belum sempat nonton lagi. Udah ga sanggup nonton yg mirip2 sekarang. Hahaha…

  4. Sepanjang baca tulisannya mba Hicha kayak…oh iya ya, bener juga, kayak gitu kali ya mereka. WKWKWKWK. Dapat POV baru sih, melengkapi tulisannya Kak Eya. Luar biasa memang duo J-Corner ini. Aku kayak mba Hicha, mau gimana pun orang ngomong kalau aku suka live actionnya ya bakal aku tonton. Kayak live action Detective Conan dulu yang katanya aneh sama temen-temenku sekarang, tapi aku dulu jujur suka banget sama filmnyaaa. Dan jadi tergila-gila dengan om Oguri Shun. xD

    Before the Coffee Gets Cold masuk rekomendasi ya, baiklah akan aku coba. Soalnya aku baca novelnya itu DNF alias nggak selesai, mba Hichaaa soalnya bosen. T_____T

    1. Oguri Shun jaman masih kinyis2 XD
      Untung aja waktu itu aku nggak aktif di forum anime atau LA, jadi ga gitu ngeh kalau dikatain aneh filmnya. Wkwk. Padahal mah asik-asik aja menurutku, mah…

      Aku juga ditahan-tahanin bacanya sampai selesai. Kayaknya flownya lebih lambat dan auranya terasa surem creepy gitu ga sih bukunya? 😅

      1. hantunya malah canciiik walaupun udah ibu2. Kelihatan lah jaman mudanya dulu idolaa. Emang pemainnya juga aktris veteran yg cantik sedari muda, sih… Bahkan smp sekarang jg masih jadi model skin care brand lokal sini hiihihi

Tinggalkan komentar