Diposkan pada AnotherInspiring, Japan and Japanese

7th. Hanshin-Awaji Great Earthquake 1995

Image
Kobe Earthquake Museum
(photo credit to here)

Masih tentang Kobe, kali ini terinspirasi dari komen-nya baginda ratu, saya ingin bercerita tentang gempa. 

Sama seperti Indonesia, Jepang adalah negara kepulauan yang berdiri di lempeng tektonik yang sering disebut sebagai Pacific ring of Fire yang menyebabkan sering terjadinya gempa. Dalam seratus tahun terakhir ini, gempa yang paling terkenal adalah gempa besar di Tokyo (1923 great Kanto earthquake) pada tahun tanggal 1 Septemeber 1923, gempa di Kobe pada tanggal 17 Januari 1995 (Great Hanshin Earthquake) dan gempa di Tohoku, yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011, atau tiga tahun yang lalu.

Meski katanya sering terjadi gempa kecil, tapi alhamdulillah saya hampir tidak pernah merasakannya. Selama saya tinggal di sini, baru sekali (dan mudah-mudahan tidak ada lagi) gempa yang agak besar, yang saya rasakan tahun lalu. Selain itu, pernah terjadi sekali lagi bulan lalu, tapi saat itu saya sedang mudik ke Indonesia.

Untuk gempa Kobe tahun 1995, setiap tahunnya warga Kobe bangun subuh-subuh (gempa tersebut terjadi pada jam 05:46 pagi dan di bulan Januari jam segitu masih gelap gulita) kemudian pergi ke kuil atau ke tempat-tempat tertentu untuk memperingati peristiwa tersebut. Di Kobe juga kemudian dibangun museum gempa yang bertujuan selain sebagai pengingat, juga sebagai tempat untuk menambah pengetahuan tentang tindakan mitigasi bencana gempa.

Museum ini terdiri dari lima lantai. Lantai satu merupakan guidance room juga tempat di mana seminar disaster prevention biasa diadakan. Di lantai dua terdapat galeri tentang disaster prevention juga tempat untuk workshop tentang tindakan preventif itu sendiri. Walaupun namanya workshop, tapi banyak berupa games interaktif yang bisa dimainkan oleh siswa sekolah dasar sekalipun. Lantai tiga bertemakan Memories of Earthquake, di sini kita bisa melihat rekonstruksi dari peristiwa gempa tahun 1995 tersebut dan terdapat juga Story tellers’ corner tempat kita mendengarkan secara langsung maupun melalui video, cerita orang yang mengalami gempa tersebut.

Di lantai empat, kita menyaksikan sendiri peristiwa gempa tersebut melalui layar teater selama tujuh menit dan setelahnya kita langsung diajak ke diorama jalan-jalan di sekitar Kobe sesaat setelah kejadian tersebut. Ruangan di lantai tersebut diakhiri dengan teater lain yang menayangkan film dokumenter tentang proses recovery dan rekonstruksi kota Kobe setelah gempa. Beneran lho,, kalau melihat Kobe sekarang, sama sekali tidak terlihat pernah terkena gempa besar. Hanya beberapa spot yang dibiarkan apa adanya dan dijadikan tempat memorial untuk kejadian tersebut.

lupa motoin gedung museumnya, jadi ini foto leaflet sama emergency kit checklist-nya aja deh ya.. :D (foto dok. pribadi)
lupa motoin gedung museumnya, jadi ini foto leaflet sama emergency kit checklist-nya aja deh ya.. 😀
(foto dok. pribadi)

Selain dari Museum tersebut, cerita tentang gempa Kobe juga isa disaksikan di film semi-dokumenter yang berjudul Kobe Shimbun no Nanokakan. Film ini menceritakan kisah nyata tentang Kobe Newspaper yang berusaha struggling dalam menerbitkan koran sesaat setelah gempa. Bagi redaksi koran tersebut, mereka harus tetap terbit demi memberikan informasi kepada masyarakat Kobe dan sekitarnya terkait tentang gempa tersebut. Adegan yang paling berkesan bagi saya adalah ketika beberapa orang dari redaksi harus ke Kyoto Newspaper demi “menumpang” percetakan di sana, mereka mencari jalan lain yang memutar karena banyak jalan yang rusak. Di perjalanan saat berada di daerah yang lebih tinggi, salah seorang dari mereka melihat ke samping dan meminta berhenti. Dan dihadapan mereka terpapar penampakan Kobe yang porak-poranda. Di film tersebut diperlihatkan bagaimana Kobe yang penuh kepulan asap kebakaran akibat gempa. Awalnya saya pikir itu dramatisasi sebuah film, tapi karena film ini film semi-dokumenter, maka diperlihatkan juga wawancara dengan pihak Kobe Newspaper yang benar-benar menyaksikan sendiri dan foto dari dataran tinggi tersebut. Dan ternyata di foto tersebut, Kobe malah lebih porak-poranda daripada yang ditampilkan di film. Innalillah..

Poster Kobe Shinbun no Nanokakan (photo credit to here)
Poster Kobe Shimbun no Nanokakan
(photo credit to here)

Satu lagi yang berkesan dari film tersebut, Kyoto Newspaper yang sehari-harinya merupakan saingan dari Kobe Newspaper, dengan berbesar hati menerima permintaan rival-nya untuk menumpang percetakan di sana hingga seminggu lamanya. Ya, memang sudah seharusnya manusia itu saling-bantu apalagi dalam kondisi sehabis gempa tersebut, bukan? 🙂

Karena tahu bernasib harus mengalami banyak gempa, pemerintah Jepang sangat concern tentang hal ini. Sedari kecil, anak-anak Jepang sudah dibangun kesadaran tentang tindakan apa yang harus diambil saat gempa. Meski tidak diharuskan memakai baju seragam, anak-anak di sekolah dasar biasanya wajib memiliki topi seragam berwarna ngejreng dan tas berbentuk kotak yang didesain khusus sehingga tahan terhadap kondisi tertentu dan dapat digunakan sebagai pelindung kepala. Tas-nya mahal lho… harganya paling murah sekitar 30.000 yen, atau sekitar tiga jutaan. Tapi itu bergaransi hingga enam tahun. Sehingga anak SD cukup beli tas sekali saja sampai mereka lulus SD.

Tas anak SD di Jepang yang harganya cukup buat beli smartphone :P
Tas anak SD di Jepang yang harganya cukup buat beli smartphone 😛 (photo credit to here)

Selain itu, di sekolah-sekolah, beberapa waktu sekali diadakan simulasi keadaan bencana dan tiap-tiap rumah juga diharuskan memiliki emergency kit sebagai persiapan menghadapi bencana, biasanya berupa makanan instan, dan peralatan emergency lainnya. Masing-masing keluarga juga harus mengetahui shelter atau tempat berkumpul terdekat jika seandainya terjadi bencana alam. Yang cukup menarik juga, Vending machine juga didesain agar otomatis dapat mengeluarkan benda yang ada didalamnya (terutama untuk yang minuman) jika terjadi bencana gempa. MasyaAllah, bahkan untuk hal komersial sekali pun, tetap di desain berdasarkan nilai kemanusiaan ya..

Penulis:

To many special things to talk about... =p

3 tanggapan untuk “7th. Hanshin-Awaji Great Earthquake 1995

  1. Aku nyeseeeeel kenapa pas ke Kobe ga mampir ke sini. Ke Kobe tujuan utamanya hanya mau makan steak Kobe beef :D. Trus balik lagi ke Osaka. Wkt itu ga sempet baca kalo ada museum gempa yg baguuus. Aku tertariknya Krn ada ruangan yg juga simulasikan gempanya pas terjadi mba. Aku pgn rasain.

    Museum2 di Jepang memang keren sih Krn interaktif banget yaa. Museum bom atom di Nagasaki dan Hiroshima yg baru sempet aku dtangin. Kalo ke Jepang lagi, aku mau visit museum gempa Kobe Ama museum pilot kamikaze . Itu juga kayaknya menarik

    1. Emang orang2 banyakan tau Kobe karena Kobe Beef-nya, kak…
      Padahal lumayan banyak tempat wisata yg antimainstream dari jejepangan 😅

      Terus juga biaya masuknya relatif murah ya, kak… dulu kayaknya pas ke Museum Perdamaian Hiroshima, tiketnya cuma 50 yen. Beli onigiri pun ga dapet itu mah 🤣

      Kalau museum yg di Nagasaki aku malah lupa biaya masuknya berapa. Yg di Hiroshima itu berkesan banget karena HTMnya yg agak di luar nalar 😂😂

Tinggalkan komentar