Katanya, dalam hidup ini sebisa mungkin jangan sampai merasa terlalu senang, agar saat kesedihan datang, kita juga jadi tidak terlalu sedih. Lalu, tahukah kamu salah satu cara untuk menyeimbangkan perasaan agar tidak terlalu senang di saat kesenangan itu datang?
Jawabannya, baca aja reply di twit viral atau komen di postingan yang lagi rame di IG. Dijamin kening jadi berkerut-kerut saking isinya banyakan perdebatan ngalor-ngidul, yang entahlah apa manfaatnya. Nggak lupa pula reply atau komen yang isinya ikut curhat, yang sama aja, kadang bisa bikin elus-elus dada. Terutama untuk akun-akun curhat *yaiyalah*, sudah pasti 99.99% bakal dilanjut dengan banyak komen ikutan curhat juga.
Ngomong-ngomong soal komen curhat, salah satu kesamaan dari berbagai problem di curhatan tersebut adalah komunikasi yang tidak berjalan dengan semestinya. Yang ini cukup bikin miris, terutama komunikasi di dalam keluarga, khususnya pasangan suami-istri.
Selama hampir lima windu saya hidup, baru sekitar dua windu terakhir saya menyadari bahwa komunikasi, dengan siapapun, itu salah satu hal yang easier said than done. Ngomongnya, sih, gampang. “Kuncinya komunikasi!”, tapi praktiknya sungguh sangat sulit sekali banget bingoooo. 😵
Apalagi sejak merantau di tempat-tempat yang saya bukan penutur asli dari bahasa mayoritas masyarakatnya, membuat saya menyadari bahwa kadang kala perbedaan bahasa bukanlah kesulitan utama dalam berkomunikasi.
Terbukti dari setelah menjalani hubungan interracial, semakin memvalidasi, bahwa perbedaan bahasa ibu bukanlah masalah utama komunikasi dalam rumah tangga. Tentu saja, miskomunikasi karena saya nggak ngerti si doi ngomong apa atau sebaliknya itu pernah terjadi. Tapi, selama akhirnya keduanya saling berusaha untuk mengerti dan memperbaiki, miskom karena perbedaan bahasa itu bisa dianggap ‘bumbu’ biar kehidupan berumah tangga tidak terasa hambar.
Setelah membaca banyak komen di postingan-postingan media sosial tadi, saya menyadari bahwa, kuncinya bukan komunikasi. Justru ada kunci-kunci lain yang perlu digunakan agar pintu komunikasi bisa terbuka dan berjalan dengan lancar. Yah, bisalah kita anggap aja komunikasi itu seperti kendaraan untuk mengantarkan kita sampai pada tujuan. Sebelum naik kendaraan tersebut, diperlukan kunci, kan, ya… 😉
Jadi, apa saja kunci-kunci yang diperlukan itu?
Sebelum ngomongin soal kunci-kunci tersebut, kalau kita menganggap komunikasi adalah kendaraan, maka hal paling pertama yang dibutuhkan dalam berkomunikasi itu sebenarnya tujuan yang sama. Karenanya, terutama untuk yang akan menikah, sebelum memutuskan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, sebaiknya dipastikan dulu bahwa kita dan pasangan punya tujuan yang sama dalam pernikahan.
Makanya, kalau dari awal udah ada bagian yang nggak sreg dari si dia, trust your gut! Ada kalanya mundur teratur lebih baik daripada melanjutkan dan berharap si dia berubah.
Tapi, bagaimana kalau terlanjur harus naik kendaraan yang sama? Mungkin bisa saja tujuan diusahakan untuk disamakan selama perjalanan. Bagaimana caranya?
Menurut saya, balik lagi, tergantung kasus dan karakter personal si dia yang sedang dihadapi. Wkwkwk, maapkeun kalau jawabannya menggantung. Kuylah, kita bahas dengan contoh kasus aja. 😁✌
*Note: Kasus-kasus berikut ada yang bersumber dari postingan di akun curhat medsos tadi, ada juga dari pengalaman orang-orang sekitar saya (bahkan mungkin ada case saya sendiri juga 😛). Nggak penting siapanya, yang penting apa hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Karena guru terbaik bagi kita adalah pengalaman, terutama pengalaman orang lain. Susahnya kita nggak rasakan langsung, tapi ilmunya bisa kita curi dapatkan. 😝🙈✌
Case 1: Keluarga dengan anak, istri SAHM, dan suami bekerja di luar dan sulit untuk turun tangan di rumah, entah itu untuk mengurus anak ataupun pekerjaan rumah tangga lainnya.
Kasus begini ternyata ada banyaaaaak.
Ada banyak juga faktor penyebab kenapa si suami seperti menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada si istri. Bisa jadi karena pemikirannya masih patriarkis, jadi menganggap haram hukumnya laki-laki menyentuh pekerjaan rumah. Atau bisa juga sebenarnya dia mau, cuma mager aja, karena merasa dirinya yang bekerja di luar lebih capek daripada si istri yang di rumah aja.
Kalau untuk pemikiran yang masih patriarkis, kunci komunikasi dengan mereka agak lebih merepotkan. Karena pada dasarnya mereka lebih dikuasai oleh ego daripada keinginan untuk berpikir logis dan realistis. Yes, kata siapa laki-laki itu dominan sisi logikanya? Mereka juga sering dikuasi emosinya, kok. Emosi itu bernama ego dan harga diri setinggi langit. Wkwk.
Makanya di banyak kasus, they don’t listen. Huhu.
Saran saya, yang begini ini sebaiknya diperhatikan sejak sebelum menikah. Apakah dia bisa jadi pendengar yang baik? Apakah dia bisa menerima opini yang berbeda? Apakah dia mau diajak berkompromi? Kalau sejak awal sudah kelihatan dia tipe ‘pokoknya istri harus nurut suami’, meskipun hal yang dituntut untuk nurut itu ngadi-ngadi, mending langsung jauh-jauh aja. Percayalah, kemungkinan berubahnya hampir 0 persen. Kita mau mengubah diri sendiri aja effort-nya luar biasa, kan? Jadi, jangan coba-coba berpikir untuk mengubah orang lain, meskipun dengan embel-embel pernikahan.
Tapi, gimana kalau udah terlanjur nikah?
Sejujurnya, saya juga kurang tau juga harus bagaimana. Karena dari awal laki-laki seperti ini yang paling saya hindari.
Tapi, kalau saya lihat orang-orang sekitar saya yang berhasil ‘menundukkan’ ego laki-laki seperti ini, mereka berkomunikasi dengan cara ‘merendah’ untuk ‘menguasai’. Wkwkwk. Ekstrim amat, pakai harus menguasai segala.
Jadi kayak di’elus’ egonya, gitu. Saat tanduknya lagi keluar diturutin dengan penuh keikhlasan. Kalau bisa malah sambil senyum, walau dalam hati empet setengah mati. Saat mood si lelaki lagi bagus, baru, deh, diajak omong pelan-pelan dengan komunikasi asertif.
“Mas, kamu capek banget pasti, ya, tiap hari kerja buat menafkahi aku sama anak-anak. Makasih banyak, ya… anak-anak pasti bangga punya bapak seperti kamu.” ← kata-kata pembuka, puji-puji dan merendah dikit. 😉
Jangan lupa lihat reaksinya dulu. Kalau hidungnya udah kembang-kempis karena kesenengan, baru kita lanjutkan serangan untuk menguasai dengan kalimat berikut.
“Aku juga senang, lho, jadi istri kamu. Apalagi, kalau bisa bantuin dikit, entah itu beresin rumah, atau nemenin anak-anak makan, pasti aku bakal tambah bahagia lagi.”
Kurleb kata-katanya gitu, tinggal disesuaikan aja dengan sikon masing-masing. Intinya, kita berusaha menyampaikan keinginan kita, tanpa membuat si dia merasa direndahkan.
Bagaimana jika si dia tetap dengan ‘ego’nya?
Mungkin bisa menggunakan pihak ketiga yang dituakan dan dihormati oleh si dia, tapi berpihak pada kita, agar setidaknya si dia tidak terpasung dengan egonya dan lebih mau mendengarkan.
Kalau untuk suami yang sebenarnya mau turun tangan, cuma keseringan mager duluan tadi, mungkin bisa dibuat sikon si suami jadi harus tinggal beberapa hari di rumah bersama anak-anak, supaya menyadari bahwa mengurus rumah tangga dan anak-anak itu tidak lebih santai daripada bekerja di luar rumah. 😉
Jadi, untuk kasus pertama ini, kalau yang saya lihat dari kasus yang sudah berhasil, kunci komunikasinya adalah sikap asertif. Sikap yang berusaha mencapai tujuan, tanpa membuat pihak lawan merasa ‘diinjak ego’nya.
Case 2: Berkebalikan dengan kasus pertama, di kasus kedua ini awalnya si suami sangat berpartisipasi dalam mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga. Tapi, setelah waktu berjalan, perlahan-lahan berubah dan seperti kabur-kaburan.
Setelah saya perhatikan, ternyata walaupun si suami sudah capek-capek turun tangan, adaaa aja komplain dari si istri. Yang piring dicucinya nggak bersih lah, habis masak dapur jadi berminyak lah, dsb, dst, dll. Jadi, si suami merasa tidak dihargai. Padahal sudah berusaha, tapi kok malah bikin si istri ngomel-ngomel. Mending nggak usah dikerjain sekalian.
Kalau untuk kasus ini, baik dari pihak suami maupun istri bisa menggunakan cara asertif seperti pada kasus pertama. Saling menyampaikan ke-tidak senang-an atas sikap masing-masing pihak, tanpa menyangkal atau meniadakan effort yang sudah dikeluarkan oleh pihak lainnya.
Mungkin kurleb dialognya bisa begini:
Suami ke istri: “Sayang, ngerjain kerjaan rumah itu kayak nggak ada habis-habisnya gitu, ya… kamu pasti capek banget. Makasih, ya, udah selalu berusaha menyediakan tempat tinggal yang nyaman buat keluarga ini. Aku, tuh, sebenarnya pengen banget ikut ngerjain, tapi kalau setelah itu diomelin gara-gara nggak sesuai standar kamu, kok ya, nggak enak juga dengernya. Hehe.”
*pake cengiran biar nggak kebawa ngegas 😁*
Istri ke suami (di saat ingin komplain): “Sayang, makasih ya, udah ikut ngerjain kerjaan rumah. Aku ngerasa terbantu banget, lho… Oh, iya, kalau boleh minta tolong, kalau beres masak boleh sekalian dilapin bekas-bekas minyaknya juga, kah?”
Sebisa mungkin kedua pihak tetap menghargai effort yang sudah dikeluarkan oleh pihak lain, juga menghargai proses yang sedang dijalani agar bisa sesuai dengan standar dan keinginan pihak lainnya. Karena, namanya aja manusia, ya… bertumbuh itu butuh proses, jarang-jarang ada yang langsung bisa dalam sekali coba.
Tak jarang butuh waktu. Keinginan kita sendiri pun tak jarang nggak langsung terwujud, kan?
Karena itu, bersikap menghargai effort dan proses sangat diperlukan dalam berkomunikasi. Termasuk juga di dalamnya proses dalam berkomunikasi itu sendiri, alias mesti perbanyak sabaaaar dan berkompromi,
Case 3: Si istri ingin tinggal di rumah sendiri, sedangkan si suami ingin tinggal di rumah orang tuanya.
Atau kasus-kasus lain yang berhubungan dengan keinginan berbeda dari kedua belah pihak, seperti si suami ingin istrinya tinggal di rumah aja, sedangkan si istri ingin bekerja di luar. Kasus-kasus seperti ini juga sebaiknya sudah dibicarakan sejak sebelum menikah. Kalau memang tidak mencapai kesepakatan, berarti memang kalian berdua punya tujuan berbeda, jadi sebaiknya diakhiri sebelum akhirnya jadi merutuki pernikahan.
Meskipun demikian, ada banyak juga kasus yang salah satu pihak mengingkari kesepakatan awal. Malah ada yang memang dari awalnya si calon suami mengiyakan keinginan calon istri, dengan tujuan nanti setelah menikah akan tetap menjalankan keinginannya dengan berlindung dibalik kata-kata “istri itu harus nurut sama suami”.
Manipulatif sekali, ya… 🙄
Jadi, menurut saya, kalau memang dari awal ada perbedaan yang sifatnya prinsipil, tapi setelah didiskuskisan ada kesepekatan, sebaiknya dibuat perjanjian secara legal. Perjanjian ini tidak hanya untuk kesepakatan tadi saja, tapi juga bisa digunakan untuk melindungi pihak lain dari sisi finansial saat kemungkinan terburuk, misalnya utang-piutang, kebangkrutan, etc.
Bagaimana kalau tidak ada kesepakatan?
Hmm… mungkin dia bukan orang yang tepat untukmu. 😅
Bagaimana kalau sudah terlanjur menikah dan salah satu pihak mengingkari kesepekatan awal, plus nggak ada perjanjian pranikah pula?
Mungkin satu-satunya cara dengan bersikap asertif (again) seperti pada dua kasus sebelumnya.
Penutup
Jadi, setelah mengamati berbagai kasus seperti contoh di atas tadi, menurut saya agar komunikasi dapat berjalan lancar, diperlukan beberapa hal sebagai berikut:
- Memiliki tujuan yang sama
- Bersikap asertif
- Menghargai effort dan proses
Tentu saja, setelah komunikasi bisa berjalan pun, terkadang nggak langsung sesuai keinginan. Ada masanya harus berkompromi, menyesuaikan perjalanan, bahkan bisa jadi sampai harus mengubah tujuan. Tapi, selama kedua pihak saling menyayangi dan tidak terbawa emosi atau terlalu keukeuh dengan ego masing-masing, pada akhirnya ke mana pun tujuannya, selama bersama si dia, perjalanan dengan ‘kendaraan komunikasi’ ini secara keseluruhan akan tetap menyenangkan. 😉
Bagaimana menurut teman-teman?
Sebenarnya temanya nggak berat ya mba. Soal komunikasi, Tapi ya bener.. Praktiknya bikin njelimet.. wkwk 😂
Aku belum nikah, dan kehidupan setelah pernikahan seperti apa pun belum kebayang. Bahkan sampai sekarang, aku pun masih bingung “Apakah diriku ini juga termasuk Patriarki atau bukan??” Tapi kayanya sih nggak… Soalnya, suka kepengen nyakar semisal ada yang bilang “Kalau istri itu harus dirumah aja, ngurus rumah, ngurus anak, ngurus suami, ya jadi wanita yang seharusnya..” Lha kepengen nampol.
Baca tulisan Mba Hicha bikin aku ingat salah satu rekan kerja yang akhir-akhir ini aku jauhi… Ya bukan karena apa-apa… Tapi aku cukup terganggu ya sama dia, karena setiap ketemu pasti isinya Ngedalil ini itu, ngerasa yang paling benar. ngomongin tentang pernikahanlah, tentang agamalah, tentang tugas manusialah, dan lain-lain.. Ngeri aku mah sama orang kaya gitu…
Aku kalau udah ketemu sama Orang yang komunikasinya cenderung satu arah alias nggak bisa nerima pendapat orang lain dan merasa dirinya Si Paling Benar. Aku lebih milih diem, tinggalin, dan jajan Cilor 🤣 Ya gimana ya kaya males aja gitu berdebat… di medsos aku pun cenderung ngejauhin Postingan2 yang aneh-aneh yang berbau Penggiringan Opini kaya contoh “Utang Negara tembus 7000T, terbanyak dari zaman Si blabla” Beuhh isi komentarnya mendadak si Paling Ekonomi..
atau ini soal “PKP Pajak PPH” Ya ampunnn isi komentarnya udah pada Suudzon. Padahal kalau dibaca lebih lanjut. PKP Pajak sebenarnya ngebuat Beban Pajak Kelompok menengah jadi lebih rendah.. Mana ada komentar yang langsung ngaliin lagi “Gaji 5 juta, dipotong pajak 5%.. Perbulan dipotong 250 ribu. NEGARA GILA” aku yang baca sumpah pengen ketawa. Terus herannya banyak yang percaya lagi..
Ini kenapa topik komunikasi jadi malah nyambung ke Pajak.. wkwk 🤣
Paling ribet emang kalau berhadapan dengan orang egois, yang make dalil sebagai senjatanya. Apalagi kalau ngambil dalil cuma sepotong-sepotong aja. Ngambilnya cuma yang menguntungkan dianya aja. Menuntut hak, tapi kewajibannya sendiri kebanyakan nggak dilakuin. Pengen tak hihhh rasanya wkwk.
Emang berasa buang-buang waktu ya, mas Bayu. Mending kalau dengerin dia dijajanin cilor, eh, ini udah ngasih kuping, ujung-ujungnya minjem duit *lho?* 🤣
Aku belum baca lengkap soal peraturan perpajakan ini, sih. Begitu juga dengan banyaak RUU dan UU yang baru-baru ini disahkan. Jadi, mau komen juga berasa sotoy aja ntar. Hahaha.
Gapapa, mas Bay, orang Pajak lagi butuh banyak komunikator atas skandal2 pegawainya akhir-akhir ini. *lho?2* 🤣
Betoool sekali Cha. Komunikasi ini salah satu yg gampang diucapin, tapi pas pelaksanaan ga semudah itu 🤣. Apalagi kalo salah satu pihak tipe ga mau dengerin 😅
Aku juga sama kok, sangaaaat menghindari laki2 yg patriarki sekali pikirannya. Jauh2 deh. Jujur aja, aku ga mau nikah Ama orang Batak, ya harga2 ngeliat papaku seperti itu ke mama . Kami besar di keluarga Batak yg tau sendiri mindset cowoknya kayak apa. Keras. Dan bagi suami istri, kebanyakan mikir harus ada anak cowo. Sebagai penerus marga. Kalo ga ada? Ya harus ada hahahaha. Makanya mama diminta lahiran Mulu Ama papa, sampe untungnya dpt anak cowo yg ke 4. Baru mau stop
Sejak itu Cha, dapet suami Batak ga pernah terlintas pokoknya 🤣🤣.
Aku bersyukuuuuuuur banget suamiku ga begitu. Mau turun tangan ke dapur juga kalo asisten2 kami mudik. Dia juga open minded ga keberatan kasih izin istrinya traveling dengan temen atau travel.
Jadi di saat kami ada masalah, Alhamdulillah sih gampang selesai, Krn kami berdua sama2 mau dengerin masalah dan cari solusi. Palingan yg bikin lama, aku harus nunggu moodku membaik dulu wkwkwkwwkkwwk.
Jadi intinya, dari awal sebelum nikah cari tau dulu karakter pasangan kayak apa. Drpd nyesel belakangan. Yg susah kita juga 😁
Ribet dan bikin capek hati, ya, kak, ngomong sama orang yang nggak mau dengerin pendapat orang lain, mah… heuhu…
Mungkin karena udah turun-temurun gitu kali, ya, kak? Jadi kesannya orang Batak itu patriarkis sekali. Pernah nonton di Ngeri-ngeri Sedap, kayaknya titah bapak itu absolut harus diikutin. Jadi, pas anak-anak laki-lakinya pada berontak, keluarganya jadi gonjang-ganjing. Huhu.
Selama ini aku temenan sama orang Batak, yang cowok-cowok walau suaranya menggelegar, tapi pada baik-baik dan loyal banget, sih… Nggak tau juga apakah karena statusnya cuma teman. Hahaha.
Yup, setuju banget, kak. Mau nikah berawal dari pacaran ataupun ta’aruf, tetap harus cari tau karakter pasangan, biar nggak repot ke depannya 😁
Pertama, paling enak kalau pilih pasangan perbedaan2nya jgn terlalu besar. Perbedaan dari berbagai segi ya dari cara pikir, visi, tujuan hidup, pola asuh, dsb. Kalau bisa sama bagus. Karena kalau nggak, bisa dpt PR tambahan yaitu bertoleransi dg perbedaan2 dan gap yg pastinya ga mudah. 😆
Setelah bisa bertoleransi, baru deh komunikasi bisa jalan. Sebelum itu yg main adalah ke-aku-an terus.
Kalau susah bs toleransi punya suami patriarki ya jgn pilih yg patriarki. Kalau mumet toleransi dg suami model beda kultur (apalagi agama) ya sejak awal ada rambu2 buat diri sendiri. Intinya sdh punya kriteria jelaslah yg dimau.😅
Kedua, kalau sudah nikah ya harus dicari sampai ketemu cara komunikasi yg enak tuh bgmn. Mahir baca suasana. Kebutuhan psikis pasangan yg harus dpt banget (tiap org beda2 tp ada yg universal misal utk cowo butuh lbh bnyk validasi akn eksistensinya, cewe butuh rasa aman). Quid pro quo. Biasanya kl sdh terpenuhi kebutuhan psikisnya, manusia lbh mudah memberi.
Makanya kdg bingung kalau ada yg bilang idealnya cowok hrs gini cewe hrs gitu. Sebetulnya gak ada yg namanya ideal. Yg ada cuma perbedaan2 yg tdk berhasil diidentifikasi dan ditoleransi.
Udah itu aja sih simpelnya…😅
Iya, mbak Pheb, pada akhirnya langkah awal komunikasi memang harus yang punya tujuan atau visi/prinsip hidup yang sama. Walaupun ada yang namanya opposite attracted, tapi kalau yang berkebalikannya di prinsip hidup, bakal harus effort gede banget bahkan untuk sekadar mulai mengkomunikasikan. 😊
Menarik mba. Skill komunikasi menurutku jg penting bukan hanya pasangan, tp jg ke keluarga dan rekan kerja. Tp all in all kayanya komunikasi asertif yang memegang kunci semuanya. Bagaimana caranya supaya bisa menyampaikan maksud dan tujuan tanpa harus merendahkan apalagi menyakiti orang lain
Benar sekali, mba. Selama kita hidup sebagai manusia, suka tidak suka berkomunikasi itu salah satu hal penting dalam human relationship. Walaupun pada akhirnya, kalau ke yang bukan keluarga inti, kita lebih mudah untuk menerapkan batasan dalam berkomunikasi. Apalagi kalau nggak ada keperluan atau kepentingan, jaga jarak ajalah sama yang bikin ribet wkwk