Diposkan pada Japan and Japanese

(J-Corner Ep.2) Stereotip JPop Culture vs Realitanya

Yes, back to J-Corner, udah saatnya episode 2 aja ternyata. 😆

Kali ini saya sama Eya mau ngomongin tentang stereotip budaya populer Jepang dan realitanya. Tentu saja ini berdasarkan pengalaman kami, ya. Bisa jadi berbeda dengan pendapat orang lain.

Pendapat Eya bisa dibaca di sini 😉

Kalau ditanya kenapa kepikiran tema ini, sejujurnya masih berhubungan dengan postingan episode 1 yang lalu. Karena, walaupun budaya pop Jepang cukup dikenal di dunia, tapi ternyata masih banyak stereotip yang kalau diperhatikan kadang ada yang nggak tepat juga.

Contohnya beberapa hal berikut.

Manga dan Anime

Stereotip yang paling sering saya dengar tentang manga atau komik Jepang dan anime adalah, keduanya ditujuan untuk anak-anak. Makanya, masih ada aja yang komentarnya “Kok udah gede masih baca komik, sih?” “Kok udah gede masih nonton kartun?” 😅

Padahal manga dan anime nggak cuma ditujukan untuk anak-anak. Malah saya perhatikan, mulai dari remaja sampai bapak-bapak masih banyak yang baca manga. Bahkan, keduanya banyak juga yang sebenarnya ditujukan untuk pembaca atau penonton dewasa dan tidak cocok dinikmati anak-anak. Gampangnya tergantung ratingnya saja. Ada yang aman untuk anak-anak, ada juga yang khusus untuk 18 tahun ke atas.

Anak-anak Jepang usia SD sendiri, kalau saya perhatikan waktunya masih banyak yang digunakan untuk bermain di luar. Thanks to banyaknya taman dan play ground yang ada di sekitar pemukiman. Waktu yang digunakan di sekolah pun cukup banyak, mengingat mereka baru pulang paling cepat jam setengah tiga sore. Tidak sedikit juga yang setelahnya dilanjut juku (semacam les-lesan), Kumon, atau les-les lainnya. Jadi, kalau pun baca komik dan menonton anime hanya dilakukan di rumah yang mana kayaknya waktunya juga sudah sedikit. Dan tentu saja ini akan kembali ke kebijakan di rumah masing-masing.

Salah satu anime yang ratingnya 16+ (source)

Tapi kembali ke manga dan anime, walau stereotipnya (di Indonesia) seperti dikhususkan untuk anak-anak, realitanya keduanya tergantung rating usia, masih banyak orang dewasa yang membaca manga dan menonton anime, dan itu tidak apa-apa, tidak melanggar hukum. 😝

Live Action

Live Action (LA) adalah film atau segala bentuk videografi (drama, film TV, etc) dengan pemeran manusia asli yang dibuat berdasarkan manga, anime, dan novel. Nggak cuma di Jepang, film-film western yang diangkat dari bacaan juga sebenarnya bisa disebut Live Action. Hanya saja, nggak tau kenapa istilah LA ini identik dengan manga dan anime Jepang.

Stereotip yang beredar tentang Live Action itu adalah biasanya lebih jelek daripada produk originalnya.

Hmm… gimana, ya. Agak susah, sih, soal ini. Karena penilaiannya bergantung pada interpretasi dan ekspektasi pembaca karya originalnya. Bagi yang merasa LA tidak sesuai dengan apa yang diimajinasikan, mungkin akan kecewa dan mengatakan LA tersebut jelek. Begitu juga jika sesuai, atau bahkan melebihi ekspektasi tentu jatuhnya LA tersebut bisa dibilang bagus.

Live Action yang cukup banyak dipuji

Sayangnya, kebanyakan imajinasi yang terbentuk dari manga dan anime biasanya dramatis dan kurang realistis, sehingga saat dijadikan LA, agak sulit merealisasinya dan tak jarang jadinya seperti ada yang ‘kurang’.

Saya sendiri, sejujurnya lebih sering nonton LAnya dulu baru baca originalnya. Jadi yang terjadi di saya seringnya malah sebaliknya. Saya lebih suka live action daripada karya aslinya. Wkwk.

Contohnya Funicula Funiculi yang pernah saya bahas di sini.

Dorama dan Film

Kalau untuk dorama mungkin pernah saya singgung entah itu di postingan doramatalk atau di postingan ini. Saya sendiri juga punya stereotip dorama yang ternyata pernah beberapa kali menemukan perbedaan dengan kenyataan pernah saya tuliskan di sini.

Selain itu, dari beberapa kali ‘keributan’ di fess atau base twitter, yang saya tangkap, beberapa orang memiliki stereotip kalau dorama Jepang itu ceritanya begitu-begitu aja, kebanyakan cinta-cintaan yang cowoknya tsundere (jutek tapi butuh) dan ceweknya lemah-lembut gitu. 😅

Pas saya ceki-ceki ternyata yang ngomong gitu nontonnya cuma beberapa judul dan modelan gitu semua. 😅😅

Padahal dalam satu season (per tiga bulan) aja ada lebih dari 20 judul dorama, ya kali ceritanya modelan shojo manga jadul semua. Perlu dijejelin dorama-doramanya Yonekura Ryoko, Sugisaki Hana, atau Hirose Alice kali, ya. 😆 Atau dorama yang saya lagi naksir banget, berjudul First Penguin dan masih ongoing. Tentang single mother yang karena sesuatu dan lain hal jadi bercita-cita untuk memajukan bisnis fishery di kampung tempat dia merantau. Ibu-ibu muda yang bahkan nggak tau jenis ikan, bisa bikin para bapak-bapak gahar yang sudah jadi nelayan puluhan tahun tunduk (setelah entah berapa kali gontok-gontokan 😝) untuk mengikuti rencana bisnisnya. Lemah di mananya cobaaa? 😂😂

Trailer ep.1 ada di bawah, tapi ternyata kena region locked wkwk 🙈, untung ada yang nge-twit akting Nao yang jadi main char-nya. Huehehe.

*eaaa malah salfok 🙈*

Oh, iya, bagaimana dengan film?

Stereotip yang pernah saya dengar tentang film Jepang itu adalah Sakura Trap. Atau jebakan bunga sakura. Katanya, kalau ada film berlatar belakang sakura, biasanya sad ending. Terus, sad ending-nya itu bikin hati terpotek-potek karena berhubungan dengan kematian. Wadidaw. 🤣

Dari beberapa judul film yang sudah saya tonton, sih, sayangnya memang begitu. Wkwkwk.

Mungkin karena sakura itu kan indah, ya. Tapi, cuma bertahan selama kurleb dua minggu, setelah itu gugur dan digantikan oleh daun hijau. Begitu juga kisah cinta tak sampai yang terpisah bukan karena terhalang orang ketiga atau agama, tapi terhalang nyawa yang sudah tiada. 🙈

Film-film dengan Sakura Trap 😅

Entar deh saya coba cari-cari, siapa tau sebenarnya ada film yang tone-nya pinkish karena sakura, tapi happy ending. 🤞

Idol

Ngomongin per-idol-an, konsep idol di Jepang beda banget sama di Korsel atau Western. Bentukannya mungkin sama-sama grup yang menyanyi dan menari. Tapi, yang dijual lebih ke ‘perjuangan’ mereka bertumbuh. Makanya kalau dari kualitas suara dan kemampuan nge-dance mulai dari awal lulus audisi sampai debut, bisa jadi tidak sesuai standar per-idol-an yang ada saat ini. Tapi, bagi fandom mereka itu pula lah yang jadi daya tarik. Karena merasa di level yang tidak terlalu jauh, bikin merasa lebih dekat, dan jadi seperti sama-sama berjuang. Di jalan yang berbeda tentunya. Hihihi.

Ini khusus untuk grup-grup Johnny’s, Exile Tribe, grup 48 46 (AKB, HKT, Nogizaka, etc), dan sejenisnya, ya. Karena beberapa tahun terakhir, beberapa agensi Korsel kayak JYP berusaha membuat grup idol juga di Jepang. Maklum, market industri musik di Jepang itu kedua terbesar di dunia (based on IFPI 2020 report). Jadi, kebayang dong cuannya kalau bisa menguasai pasarnya.

Sayangnya (bagi saya), standar yang dipakai agensi tersebut itu standar KPop. Makanya, walaupun liriknya berbahasa Jepang, tapi dari warna musik, dance, sampai penampilannya nggak ada JPop-JPopnya. Bagi saya pribadi lebih kayak Japanese KPop. 🙂

Wibu dan Otaku

Sebenarnya apa bedanya wibu dan otaku?

Wibu, diambil dari kata weeb atau kosakata slang bahasa Inggris yang ditujukan untuk orang-orang yang terobsesi dengan budaya Jepang. Di Jepang sendiri, kata ini tidak dipakai (kecuali oleh orang asing).

Sedangkan otaku adalah kata dalam bahasa Jepang yang berarti orang yang memiliki ketertarikan yang kuat terhadap sesuatu. Bisa apa saja, termasuk idol dan bahkan lifestyle. Makanya ada banyak kata-kata yang diembel-embeli ~ota (kadang ditulis jadi wota) dibelakangnya, yang berarti ketertarikan pada hal tersebut. Misalnya, aniota dari anime otaku (untuk pecinta anime), janiota dari Johnny’s otaku (untuk yang ngefans berat sama idol group dari Johnny’s), bahkan ada seorang seleb Jepang (sebut saja Nanao) yang mengklaim dirinya sebagai kenkouota (kenkou otaku = otaku kesehatan) karena menurutnya dia tergila-gila sama hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan.

Kalau wibu ini oleh beberapa orang dan kelompok sering dikonotasikan negatif, untuk otaku oleh orang Jepangnya sendiri bergantung pada hal yang digilai. Ada yang dianggap biasa saja, ada juga yang dianggap negatif, seperti penggemar BL (boys love atau gay) dan lolicon (lollita complex) yang cenderung tidak sesuai dengan norma agama dan sosial. Keduanya ini yang kadang bikin stereotip jelek soal otaku. Tapi, yah, sesuatu yang berlebihan memang nggak baik, sih. Termasuk ketertarikan yang berlebihan. Emang segala sesuatu itu harus balance, ya… 😁

Kembali ke wibu, terutama di luar Jepang (lebih tepatnya di Indonesia), kenapa bisa dianggap negatif, ya? Kenapa dengan cosplay yang terniat, sering dianggap freak? Kenapa saat fans laki-laki idol 48 46 nonton konsernya dengan totalitas, mereka dianggap lelaki bau bawang yang madesu? Nah, ini juga nih, kenapa wibu itu dianggap bau bawang? 🤔

Yoshi Sudarso (dulunya) Cosplayer, sekarang jadi aktor. Apakah beliau ini juga bau bawang? 😅 (source)

Hmmm, bingung juga saya, ini yang bikin stereotip siapa, dah? Wkwkwk.


Kira-kira begitu lah stereotip dari budaya populer Jepang dengan realita dari apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. *udah kayak judul lagu jadul aja 😝*

Bagaimana menurut teman-teman? Mari kita diskusikan di kolom komen. 😉

Sampai jumpa di postingan berikutnya~~😘

Penulis:

To many special things to talk about... =p

11 tanggapan untuk “(J-Corner Ep.2) Stereotip JPop Culture vs Realitanya

  1. Hichaa, suka deh informatif sekaliii 💖

    that shojo manga jadul bener banget wkwkwk shojo manga jaman sekarang yang ceweknya terlalu lemah lembut dan cowoknya tsundere cool galak juga udah jaraaaaang.. makin banyak yang ceweknya kuat dan cowoknya soft gemesin 😆

    Dipikir iya juga yaa dari mana datengnya anime = tontonan anak-anak, apa karena dulu anime-anime yang awal masuk sini tuh sejenis Doraemon gitu? 🤔 terus aku inget Rose of Versailles (dulu di sini judulnya Lady Oscar) yang sebenernya ceritanya juga terlalu rumit buat anak-anak, padahal genrenya masih shojo juga 😂

    Ngakak banget bayangin Yoshi Sudarso bau bawang 😭😭😭 iyaa ini siapa yang mencetuskan siih soal wibu bau bawang, lagian kenapa bawang gitu, kalo orang ga mandi emang baunya kayak bawang?? 😂😂

    1. Thanks, Eyaa 💖
      Wkwkwk, ada rekomendasi shojo manga jaman sekarang kah?

      Kayaknya, sih, gitu. Dulu juga seingatku, Crayon Shinchan sempat kontroversial karena meskipun tentang anak TK tapi ceritanya kurang cocok buat anak-anak.

      Wah, aku tuh dulu sempat jatuh cinta sama Lady Oscar, karena gambarnya baguus. Kalau dipikir-pikir emang bukan buat anak-anak, ya. Sejujurnya, aku pas nonton ga mudeng ceritanya tentang apa. Hanya bisa mengagumi gambarnya, terutama kostumnya Marie Antoinette aja. 🤣🤣🤣

      Sepertinya yg ngomong gitu, pernah punya trauma dgn wibu dan kebetulan wibunya bau bawang kali, ya? 🤣🤣🤣

  2. Wiiih akhrinya nemu asal kata wibu itu dari apa. Pernah nanya-nanya ke Kak Eya juga soal gimana caranya baca wibu: wibu apa waibu. Soalnya temenku pernah ngomong bacanya waibu. xD

    Heleeh heleh siapa yang mengawali bacaan manga untuk anak kecil. xD Justru orang dewasa lebih butuh baca manga atau nonton anime biar nggak stres wkwkwkwk. YA AMPUN MBA HICHAAA…aku kapan hari nonton Love Like the Falling Petals sampe mental breakdown karena nangis deressssssss. T__________T

    1. Yang jelas wibu itu yg cowok biasanya punya waifu, yg cowok punya husbu, mba Endah 🤣🤣🤣

      That “biar nggak stress” 😂😂 Anak-anak mah belum butuh manga dan anime, ya… mereka mah lagi aktif-aktifnya bermain, baru mulai mengeksplor kehidupan. Wkwkwk.

      Kenty diperes air matanya di sana, ya… 😂 Cobain Midnight Runner mba Endah, Kenty di situ ga sadboy, cuma jompoboy 🤣🤣🤣

  3. Aku baru tau yg sakura trap 🤣. Soalnya memang blm pernah nonton dorama yg diluar genre kuliner Cha. Berarti ini bisa aku jadiin patokan, kalo gambarnya sakura, aku mungkin ga bakal pilih utk nonton, secara aku ga pernah suka serial apapun yg endingnya sedih 🤣🤣🤣. Mending pilih yg lain yg happy ending 😁

    Aku juga bingung stereotype yg bilang wibu bau bawang drmana Yaa 😂. Kalo denger kata bau bawang, justru aku lebih keinget Ama orang2 negara tertentu yang udah melekat banget kayaknya dengan bau bawang saking mereka juga suka makan bawang 🤣.

    Yg bikin stereotype kayak begitu, pasti temen wibu nya aja yg rada males 😁. Jadi kena kesemuanya dianggab bau 😅

    1. Sakura Trap ini biasanya film sih, kak. Kelamaan kalau dibikin berepisode-episode. Wkwkwk.

      Eh, negara mana tuh, kak? Aku pernah dengernya yg bau rempah, karena makanannya yg penuh rempah-rempah. Padaha masakan Indonesia jg kaya rempah, untungnya jarang disebut ada bau2an sama orang asing. Heheheh.

  4. aku belum pernah denger soal stereotip ini, pas baca ini kan otomatis jadi ngerti juga
    waktu awal muncul istilah wibu-wibu, jujurlyyyyy sampe sekarang aku nggak nyari tau apa itu artinya dan udah dijawab dipost ini hahaha
    kalau aku mengiranya arti wibu, ya mereka mereka yang ngefans dengan hal-hal yang berbau jepang.

  5. Aku baca ini entah kenapa jadi ngakak… Soalnya aku sering mba dipanggil Wibu Bawang semisal aku kedapetan istirahat sambil Nonton Anime. wkwk. Awalnya aku nggak tahu Wibu Bawang itu apa? Tapi ternyata karena jarang mandi sangking sibuknya sama perjepangan.. -__- enakk aja.. wkwk Tapi lucu sih. 😂

    Soal Cosplay… Aku tuh kalau ngeliat yang Cosplay gila-gilaan riasannya.. ngeliatnya malah keren banget sik… Di Ig ada tuh Pria yang Cosplay. Gilaak sikk kerenn banget.. 😍

    Yg bilang Anime sama Manga buat bocil mah berarti belum pernah nyoba ngebaca atau nonton.. Ntar mah giliran udah nonton. Ketagihann 🤣

    1. Belum tau aja mereka, cosplayer itu pada cling dan wangi. Kalau ada yg ngatain, ketekin aja, mas, biar orangnya buktiin sendiri kalau tidak bau bawang wkwk

      …atau nonton anime yg semacam AoT malah jadi stress karena ceritanya berat 🤣🤣

  6. Iya yaaa aku baru ngeh kalau anime/manga cenderung dianggap untuk anak-anak mungkin karena mindset orang-orang kalau lihat buku bergambar atau animasi = untuk konsumsi anak-anak, padahal nggak semua bisa dikonsumsi anak-anak, kalau anime/manga gore contohnya, yang ada malah bikin anak-anak jadi mimpi buruk 🤣.
    Akupun masih menikmati manga/anime walaupun belum banyak yang aku tonton, malah beberapa ada yang lebih “ngena” dikonsumsi saat udah berumur dibanding saat masih kecil 😆.

    Terus aku jadi mikir juga, kenapa cosplayer Indonesia suka disebut lebih cringe yaaa dibanding orang luar yang jadi cosplayer 🤔. Dan kenapa wibu di Indo juga lebih sering disebut madesu? Mungkin karena pengaruh tampang dan perawakan, Kak? 😂

    1. Aku pernah nyoba sekali baca manga horor pas SD, langsung trauma ga bisa tidur berapa hari. Heran, gimana bisa manga begitu cocok buat anak-anak. Wkwk.

      Apalagi manga/anime yg bertemakan coming of age atau becoming adult, ya… pas anak-anak belum relevan, jadi ga berasa relate. 😆

      Iya, Li, kayaknya karena feature fisik kali, ya… manga/anime gitu kan seringnya based on bule, jadi kalau dimainkan sama orang Indo asa ga mashok. 🤣

      Kalau untuk madesu, kayaknya karena yg vokal itu yg keliatan kayak ga ada kerjaan laen, jadi weh dianggap madesu 🙈

Tinggalkan Balasan ke Hicha Aquino Batalkan balasan