Hola, gaes! Maapkan janji yang terlewati. Niatnya postingan pertama published di akhir Agustus, malah ditunda jadi akhir September. Ya, gimana ya, buat saya pribadi, setelah berkutat dengan nikahan, lanjut lah berkutat dengan pindahan. Nggak cuma dengan packing-unpacking, tapi juga dengan refot urusan administrasi. Maklum aja pindahannya antar negara. Masih dalam kondisi pandemi pula. *banyak alesan* *untung Eya baik* *terima kasih sobat wibu-ku π*
Eniwei, untuk postingan pertama ini, saya dan Eya memutuskan buat cerita tentang pendapat kita mengenai JPop Culture di tengah gempuran K-culture yang semakin semakin iniπ.
Baca juga tulisan Eya di sini, ya…
Walaupun kami nyebutnya JPop, maksudnya bukan hanya musik, ya. Tapi, semua hal yang berhubungan dengan popular culture yang relatif lebih modern. Sebenarnya Traditional culture juga menarik banget, tapi dari saya pribadi, pengetahuan dan ketertarikan saya terhadap modern pop culture lebih besar dibandingkan yang tradisional. Bukannya nggak tertarik, hanya belum sampai ke tahap bisa mengeluarkan effort lebih untuk mendalaminya. Alias prioritasnya beda aja. Ehe.
Budaya pop modern di sini termasuk di antaranya musik populer, karya literatur (novel, manga, dan sejenisnya), dan tontonan (anime, drama, film). Mungkin budaya cosplay juga termasuk, tapi (lagi-lagi) pengetahuan dan ketertarikan saya belum sampai ke level minimal untuk cerita tentang hal tersebut.
Sebagai anak daerah, sejujurnya saya jarang terpapar budaya populer yang erat hubungannya dengan hiburan. Alasannya, tentu saja karena akses yang terbatas. Saat bocah, saya hanya bisa menonton TVRI, itupun baru tayang di sore hari. Untung aja udah berwarna, ya. Kalau masih siaran hitam-putih, berarti saya udah nggak kinyis-kinyis lagi, dong. *PeDe sekarang masih kinyis-kinyis π*
Baru saat mulai sekolah, stasiun TV swasta masuk ke daerah saya tanpa perlu menggunakan parabola. Saat itu pun kayaknya saya jarang nonton. Lebih enak main lompat tali sama teman-teman. Kalau pun nonton, yang ditonton itu Ksatria Baja Hitam RX, Oshin, dan Rindu-rindu Aizawa. Setelah saya coba tonton ulang (dikit), sebenarnya ketiga tayangan tersebut kurang cocok untuk anak-anak kalau ditonton tanpa bimbingan orang tua. Apalagi yang terakhir, cerita keluarga toxic yang beneran ratjun sampai mengarah pada KDRT, juga ada unsur bullying-nya. Gawat kalau sampai ditiru anak-anak.
Beranjak abege sampai tamat SMA saya lebih dekat dengan budaya populer western dan negara sendiri. Ya ampuun… kalian pada ingat nggak, sih, gimana band-band lokal bisa sangat populer bahkan sampai ke negeri jiran? Sampai ada yang meninggal di konser saking membludaknya penonton. Terlepas dari kabar dukanya, tapi hype mereka saat itu nggak kalah dari KPop saat ini. Apalagi saat itu, kan, nge-hype mereka cuma dari TV (dengan channel MTV-nya) atau radio dan majalah. Viralnya masih terarah dan relatif lebih long-lasting.
Baru saat masuk kuliah saya terpapar kembali dengan pop culture Jepang, kali ini barengan dengan tetangganya juga. Yes, walaupun sekarang berasa alergi dengan hallyu wave, dulu sebenarnya saya cukup familiar dengan dunia entertainment SoKor. Wong, konser pertama (dan satu-satunya) yang pernah saya tonton aja konsernya CN Blue, kok. π Mungkin karena sudah terlalu meluas, makin banyak penggemarnya, makin banyak juga yang rese, pelan-pelan saya jadi malas dan nggak tau kenapa otomatis menjauh. Wkwk.
Ditambah lagi kemudian saya ke Jepang. Makin terpapar lah dengan hal-hal yang berbau Jepang. Meskipun saya bingung juga, kalau saya perhatikan teman-teman Indonesia di Jepang, kebanyakan larinya ke dunia hiburan Korea. Mungkin karena harus menerima kenyataan bahwa hidup di Jepang itu, seringnya tak seperti saat jadi turis yang full of omotenashi (servis ala Jepang), dan bikin pengen balik jadi turis lagi. Ibaratnya udahlah sehari-hari struggling dengan orang, bahasa, dan tata krama ala Jepang, masa hiburannya mesti Jejepangan juga. Wkwk.
Saya sendiri, terlepas dari kehidupan sehari-hari yang struggling dengan Jejepangan, untuk hiburannya pun akhirnya tetap ke dorama lagi, dorama lagi. Wkwk. Habis gimana, ya, yang legal pun aksesnya mudah, bahkan free. Thanks to TVer, FOD, dan layanan OTT lainnya.
Untuk musik, kalau nggak mau dengerin di internet, tinggal dengerin radio atau sewa di rental CD (masih ada, lho…). Untuk bacaan, di tiap ward (selevel kecamatan kayaknya) ada perpustakaan yang bisa diakses siapa aja dan gratis.

Jadi memang aksesnya sangat dipermudah.
Cuma mau nonton konser aja yang tetap aja sama remfong-nya dengan di Indonesia. Rebutan tiketnya level ikut undian dalam undian! Apalagi, karena sehari-harinya Jepang itu adem-ayem. Jadi heboh-heboh konser artis, baik lokal maupun internasional itu, ya, cuma di antara fans-fansnya aja. Kalau nggak jeli cari info, udah pasti ketinggalan. Nggak ada itu ceritanya umbul-umbul dan spanduk artis di jalanan. Paling banter truk promo berdinding screen idol yang keliling di jalan-jalan utama aja.
Saat ini, setelah melanglang buana (di dunia maya), saya jadi ketambahan literatur Jepang juga. Dulunya sempat kenal sama manga. Juga lumayan sering nonton Live Action dari novel-novel Jepang. Tapi, baru sekitar 2-3 tahun terakhir beneran baca literatur Jepang berbentuk novel. Itu juga versi terjemahan. Belum tersentuh hatinya untuk mengeja membaca karya original dalam bahasa Jepang. Dalam sehari, sehalaman juga belum tentu beres. Wkwkwk.
Dari sedikit buku karya penulis Jepang yang saya baca, saya cukup cocok dengan ceritanya. Untuk yang misteri, plot twist-nya khas dorama Jepang (yaiyalah, kan doramanya adaptasi dari novel π). Untuk yang kehidupan sehari-hari, penokohannya kuat dan realistis. Beda banget sama manga atau anime yang lebih ekspresif menuju berlebihan.
Untuk musik, sejujurnya saya bukan tipe yang harus setiap berkegiatan atau tidur dengan mendengarkan musik. Walaupun senang bersenandung (karena kalau nyanyi seringnya fals π), tapi tetap bisa hidup meskipun dilarang mendengarkan musik selama berbulan-bulan. Jadi, pengetahuan saya tentang musik bisa dibilang mendekati nol. Makanya, dengan musik Jepang pun, selama ini bisa dibilang pengetahuan saya hanya sebatas paparan soundtrack dorama atau film.
Tapi, setelah akhir-akhir ini follow base Jejepangan di Twitter, saya malah jadi lebih tahu mengenai hal-hal selain dorama, termasuk di dalamnya musik. Gara-gara akun ini juga saya jadi tau akun The F1rst Take di YouTube yang bikin saya tambah kenal lebih banyak dengan musik Jepang.
Btw, TFT ini adalah akun YouTube di bawah Sony Music Entertainment Japan (SME Japan) dengan niche mengundang penyanyi-penyanyi Jepang (dan luar Jepang) untuk menyanyi hanya dengan sekali take suara.
Monggo, yang mau main ke TFT bisa ceki-ceki di sini, ya…
Berhubung saya nggak gitu punya pengetahuan tentang musik, jadi saya nggak ngerti tentang musikalitas atau kualitas sebuah karya musik. Saya beneran hanya sebagai penikmat musik saja. Pokoknya selama enak di telinga saya, ya, saya dengerin. Makanya bingung juga, dan nggak bisa komen atau membandingkan musik Jepang dengan musik dari negara lainnya. Paling yang sedikit saya ngeh, lagu-lagu Jepang itu liriknya padat dan minim jeda. Kadang bikin susah dinyanyikan buat orang yang nafasnya pendek seperti saya ini. π
Sedangkan untuk tontonan, saya jarang nonton film, kecuali di bioskop. Itu juga udah jarang banget. Di Indonesia sendiri jumlah film-film Jepang yang masuk jauh lebih sedikit daripada film western atau lokal. Jadi kalaupun nonton di bioskop, seringnya film-film yang lagi rame aja. Film Jepang pertama dan satu-satunya (sampai saat ini) yang saya tonton di bioskop Indonesia cuma Tokyo Revengers. Pernah saya bahas sedikit di sini.
Kalau untuk series atau yang biasa disebut dorama, mungkin beberapa teman blogger udah tau kalau saya dan Eya bikin Doramatalk yang khusus membahas dorama, sebelum akhirnya di-expand menjadi J-Corner seperti sekarang ini. Jadi bisa dibilang dorama itu dekat banget dengan kehidupan sehari-hari saya. Walaupun aksesnya susah. Heu.
Apalagi di tengah gempuran KPop Culture berikut KDrama-nya. Saya sampai bikin tulisan ini yang baru diupdate mengikuti perkembangan akhir-akhir ini. Maklum saja, dengan semakin banyaknya penggemar, makin banyak juga yang rese dan sotoy ngomong begini-begitu padahal nggak tau-tau amat. Ya, nggak apa-apa, sih, kalau komennya di akun sendiri, lah ini sampai ngirim ke base publik. Biar apa, dah? Cari ribut? Masokis pengen dirujak kali, ya? Wkwkwk.
Back to dorama, kalau yang saya perhatikan, selain genre dan tema yang buanyaaak, secara umum JDrama ini bisa dibagi dua, yaitu cerita original dan Live Action (LA). Cerita original ini biasanya lebih natural dan realistis. Disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan untuk LA, biasanya diangkat dari novel, manga, atau anime. Jadi, disesuaikan dengan karya original-nya. Makanya kadang dandanannya berasa aneh dengan akting comical cenderung berlebihan. Karena mengambil plek-ketiplek sama karya aslinya. Yang mana pun itu, sebenarnya tergantung selera aja. Saya juga sering nge-skip dorama kalau nggak dapet feel-nya di 15 menit pertama.
Tapi, kalau pas nonton yang cocok, tentu saja bakal diterusin sampai selesai. Nah, berhubung tiap musim (3 bulan sekali), bisa ada 50an lebih judul dorama, sedangkan waktu saya terbatas, jadi tetap ada dorama yang ke-skip, meskipun bisa jadi kalau saya coba nonton bakalan cocok. Karena itu paling banter dalam satu musim saya cuma sempat nonton paling banyak 10 judul. Itu juga termasuk mini series yang tiap episodenya hanya 24 menit saja.
All-in-all, baik untuk bacaan, musik, film, dan dorama, obstacle terbesar dari karya budaya populer Jepang itu adalah aksesnya. Mungkin niat awalnya baik, ya. Yaitu melindung para creator dari piracy, yang di dalam negeri bisa dikontrol, sedangkan untuk global tidak. Akhirnya di-gatekeep dengan region blocked, deh.
Akibatnya, tentu saja jadi kurang dikenal selayaknya budaya populer tetangga. Yang bikin tambah ngenes, karena si tetangga ini jor-joran banget untuk mendunia, saat mereka sudah sukses mendunia, otomatis standard dunia saat ini jadi bergeser. Segala macam akting, sinematografi, sampai standar kecantikan/ketampanan di dunia hiburan jadi berkiblat ke sana. Ini juga yang jadi dasar komentar-komentar mereka yang rese tadi. Menjelek-jelekkan begini-begitu, padahal sebenarnya simply karena standar yang dipakai berbeda saja.
Meskipun begitu, saya nggak pengen budaya populer Jepang jadi ikut berkiblat ke standard dunia saat ini, sih. Biarlah Jepang tetap dengan ke-Jepang-annya. Nggak kebayang kalau nanti para aktor/aktris dan pelaku seni lainnya jadi ikut “dicetak” agar sesuai standard saat ini. Saya mungkin akan manyun karena kehilangan sumber fangirling dengan εζ§ (red: kosei) atau individuality uniqueness dari masing-masing pekerja seni, baik dari appearance maupun hasil karyanya. ππ
To summarize, sebagai pembuka dari kolab ekspansi kali ini, kenapa saya dan Eya tertarik buat membahas budaya populer Jepang? Tentu saja jawabannya, simply karena suka aja. π
Semoga bisa saling sharing dan ada manfaat yang bisa diambil. π€
Sampai jumpa pada postingan selanjutnya~~π
Hicha sekarang di yaban makin gampang dong yaa nonton dorama wkwkwk… eh iyakah kalo mau konser gitu suka ada truk dengan gambar idol lewat keliling kota?? KOK PENGIN LIAT π₯Ίπ₯Ίπ₯Ί
Samaa aku juga ga suka kalau Jepang ikut-ikutan standar negara lain dan ngurangin ke-Jepangannya karena jadinya ga unik lagiii nantiii π Memang bener ga sih jejepangan (selain anime) tuh memang bukan buat semua orang alias orang-orang terpilih aja yang bisa nikmatin hahaha aku sampe mikir gini karena belakangan ini sering banget muncul menfess jelek-jelekin dorama dan aktor Jepang heuu~ sebel banget yaa ππ
Oiyaa TFT ini juga favorit banget deeh, kaget terakhiran sampe ngundang Avril Lavigne dan Harry Styles juga!!
Episode kedua kita mau bahas apa nih Hichaaa? π
Iyes, tapi berhubung truk gitu, jadinya cuma di jalan-jalan utama di dalam kota, nggak akan nyampe daerah pemukiman penduduk. Wkwk. Aku juga cuma pernah lihatnya idol sejenis AKB gitu, kalau anak-anak janis ga ada keknya. Ga perlu dipromoin juga dalam beberapa menit tiket langsung sold out ini. Hahaha.
(((orang-orang terpilih))) yang milih siapa gitu? π€£π€£π€£ semoga aja ke depannya ga ada yang rese. Mengganggu ketenangan hidup aja. Heu.
Mungkin ga ya, penyanyi Indonesia juga diundang ke TFT π
Bahas itu ajaa… (bahas apa, coba? hahaha)
Mba hicha tulisannya menginspirasi! Jadi pingin napak tilas kenapa dulu sy jg suka sama jpop culture ya? Wkwkwk. Mohon ijin curi tema buat posting minggu ini kakaaaaaakk
Monggo.. π
Wihhh lengkappp beuud π€©..
Ooo aku baru tahu kalau di Jepang Umbul-umbul konser kaya terbatas gtu ya..
Aku tuh ya suka juga sama hal-hal Perjepangan, bukan karena aku kerja di perusahaan punya Jepang, tapi karena menarik aja mereka apalagi budayanya based on yang aku lihat di YT ya. Keren aja gitu!! π.. Apalagi kalau ngeliat atau ngedenger mereka ngomong tuh kaya ngademin banget padahal ya nggk ngerti mereka ngomongin apa π…
Jpop culture yang aku nikmatin sampai sekarang sih masih seputaran Anime kaya One Piece, dkk. Lagu-lagu jugaa… meskipun kebanyakan Ost Anime juga sih π. Di YT lagi sneng tuh ngeliat channelnya Masaru. isinya tentang dia nyoba-nyoba hewan yang agak ‘bizzare’ π tapi seru ngelihatnya meskipun kadang bikin bergidik.
Skrang lagi demen lagu-lagunya band One OK Rock.. Mba Hicha tahu nggak??
cusss mba dilanjut tulisan perjepangan lainnya.. kutunggu. wkwk π
Malah ga ada, Mas Bayuuu. Aku pas nonton itu sampai bingung, ini beneran ada konser, kok ga berasa? hahaha.
Wow… nyobain ini maksudnya makan gitu, ya? *brb mampir ke channel YTnya*
Tentu sajaa… OOR juga salah satu band yang aku suka. Apalagi lagu2nya yg dipake di Rurouni Kenshin XD
Btw, mas Bayu ga mau cerita-cerita tentang suka-duka kerja di Perusahaan Jepang, nih? XD
Mba Hicha beruntung banget pernah nonton konser CNBLUE, HUHUHUHU. Mana grupnya sekarang kayaknya udah gak prioritasin konser di luar negeri hadeh. Dulu ke sini pas aku belum ada uang. T_____T
Anyway, oh jadi ternyata untuk menghindari piracy ya jadinya ada region block dari Jepang. Yang kayak gini tuh jadi sisi yang bikin aku kagum sekaligus jengkel ke Jepang, wkwkwk. Tapi ya emang mereka negaranya udah mandiri banget sih, ya. Jadi, kayaknya gak menguasai dunia via pop-culture-nya kayaknya juga gak jadi masalah. *ngomong apa*
Itu juga lagi lucky aja, mba Endah. Kebetulan ada temen yang berhasil beli tiketnya, kalau nggak juga kayaknya aku bakal belum pernah nonton konser sampai umur segini. π
Karena negaranya kecil, alamnya juga rawan bencana, jadi kayaknya mau nggak mau terpaksa mandiri. Apalagi dikelilingi laut gitu, kan, jadi kalau mau menguasai dunia harus nyebrang lautan dulu *ikutan ngomong apaa π€£*
Bahkan untuk boleh menerbitkan buku terjemahan dalam bentuk ebook aja kadang nggak boleh, Kak Hicha π. Saking strictnya yaa. Dulu kan sempat bisa baca gratis kalau langganan di Gramedia Digital, nah sekarang harus bayar untuk baca ebook novel-novel Jepang, bahkan penerbit lain bilang kalau pihak penerbit susah banget buat dapat izin bikin versi digitalnya. Mungkin ini karena untuk menghindari pembajakan ya π
Btw, karena Kak Hicha sekarang udah tinggal di negara asalnya, berarti akses dorama udah lebih gampang dong, Kak? Tayang di tv lokal atau harus akses via streaming service juga?
Aku baru denger soal ini, Li… kalau kuperhatikan karena minat baca orang Jepang pada buku fisik juga masih tinggi, sih, ya. Jadi lagi-lagi, nggak di”jual” keluar juga masih bisa buat makan penulis (yang sudah punya nama) dan penerbitnya. Apalagi mereka kan dasarnya pride-nya setinggi gunung Fuji, jadi kalau dibajak tuh, kayak merasa nggak dihargai, jadi kayak diinjak-injak harga dirinya gitu kali, ya… *jauh bener analisisnya wkwk*
Berhubung aku nggak make TV jadi sekarang nontonnya di streaming service lokal. Tapi, untungnya free (untuk episode terbaru di minggu tersebut) dan legal π
Pdahal kalo dipikir2 aku tuh dulu lebih dicekoki Ama drama, lagu dan kartun Jepang drpd Korea. Cuma skr, malah Keikut cendrung ke Korea π€£. Cuma bukan berarti aku ga suka dorama dan hiburan lainnya dari Jepang sih mba. Masih tetep suka, tapi memang ga sesering dulu. Dan lebih milih genre. Kayak dorama, aku paling suka genre kuliner. Kalo romance dll kurang sih, masih blm dpt feel nya. π.
Utk komik, aku msh suka bgt komik Jepang. Blm ada yg ngalahin kalo itu π. Bahkan novel, juga lebih milih penulis Jepang drpd Korea. Balik lagi ke selera sih Yaa . Kalo lagu baru deh prefernya ke Korea, yg iramanya lebih masuk ke aku π
Sama aksesnya masih kureng juga sih ya, kak. Jangankan ditayangkan di TV kayak dorama2 jadul, yg ditayangin di OTT aja dikiiiit banget. Heuheu.
Iya, kak, selera mah preferensi pribadi sih, ya… π