Diposkan pada Experience, MindTalk

The Stranger I Met (Ep.3) – Saat Dalam Perjalanan Akademisi

Juni 2016, setelah hampir setahun sebelumnya supervisor saya mengusulkan untuk mendaftarkan hasil riset saya ke sebuah konferensi International. Saya berangkat bersama beliau dari Bandara KIX, transit beberapa jam di DXB, transit lagi semalam di Athena, dan berangkat lagi keesokan paginya ke pulau Rhodes. Begitu juga rute kepulangan yang persis sama, hanya dibalik saja. Rhodes-Athena-Dubai-Osaka. Sempat mampir satu jam di Larnaca, Cyprus, tapi benar-benar hanya satu jam, keluar dari pesawat pun tidak.

Keterbatasan dana membuat saya memilih untuk mengambil penginapan berbeda dengan sensei selama seminggu di Rhodes. Setiap hari berjalan selama dua puluh menit, dari penginapan menuju venue konferensi. Kembali lagi ke penginapan dari venue setelah dua puluh menit berjalan kaki.

Karena tujuan utama untuk mempresentasikan hasil penelitian akademis, sepanjang minggu dari pagi hingga sore diisi dengan mengikuti sesi presentasi yang sebagian besar diisi oleh peserta dari luar Yunani. Hanya saat di perjalanan dari dan ke venue, juga saat berbelanja sedikit kebutuhan pokok saya sempat berinteraksi dengan warga lokal. Itu pun hanya interaksi jual-beli. Mereka berbicara seperlunya saja. Hanya beberapa penjaga restoran yang kadang menyapa dan mengajak untuk jadi customer mereka.

Di Rhodes hanya sempat ikut tur ke Lindos. Masih bulan Juni, tapi panasnya bikin belang (padahal emang aslinya belang, sih… 🙈)

Saya juga sempat ngobrol sejenak dengan pemilik penginapan yang ramah. Sedikit terlalu ramah. Raut wajahnya saat bicara menjurus ke flirting dengan tatapan dalam dan ekspresi mendengarkan yang sangat saksama. Salah-salah bikin grogi dan salah sangka.

Kami berbincang-bincang tentang perbedaan budaya, hingga masalah ekonomi yang sempat menerpa Yunani. Terasa berat, padahal biasa saja. Malah sempat tertawa-tawa. Lupa juga saya ketawa karena apa.

Jangankan isi pembicaraan, nama pemilik penginapan itu saja saya lupa. Padahal beliau sempat memberikan alamat e-mailnya dan saya pun sudah berniat untuk menghubungi suatu saat. Suatu saatnya sampai hampir enam tahun kemudian pun tidak terjadi. Hiks, saya memang parah dalam menjaga sebuah relasi jarak jauh.

Sekembalinya dari Rhodes, saat transit di Athena, kami tiba di hotel siang hari. Setelah meletakkan barang, sensei mengajak jalan-jalan di sekitar penginapan. Sambil mencari makan malam. Saat itu bulan puasa, jadi sekalian saya cari bukaan dan berencana belanja untuk sahur keesokan harinya.

Athena menjelang malam

Saya sempat jiper dengan kondisi kota Athena yang banyak coret-coretan vandalisme dan trafik yang menyulitkan pejalan kaki. Sampai kemudian melihat sensei yang biasa aja nyebrang sembarangan di jalan ramai –sesuatu yang tidak mungkin beliau lakukan di Jepang, dan mengatakan bahwa bisa jadi coret-coretan itu sebenarnya bukan coret-coretan tanpa makna. Tapi, bisa saja bentuk protes terhadap pemangku kekuasaan.

Sayangnya, saat itu sudah gelap, dan hape saya tinggal di hotel, karena percuma dibawa, tidak pakai paket roaming juga. Jadi, saya tidak punya foto Athena dan coretan-coretannya. Bahkan mampir ke mini market, membeli bahan sahur pun ikut terlupa. 🙈

Sekembalinya ke hotel, saya memutuskan keluar lagi, membeli makanan untuk sahur yang terlupakan tadi. Untungnya, saat itu saya ingat kalau ada mini market tak jauh dari hotel tempat kami menginap.

Penjaganya ternyata seorang muslim dari Bangladesh. Melihat tampilan saya yang pakai kerudung, dia pun menggratiskan beberapa belanjaan saya. Alhamdulillah, yaa… rejeki anak solehah (mohon aminkan saja 😆).

Mas-mas Bangladesh tersebut ternyata lahir dan besar di Yunani. Tapi, masih bisa berbahasa Bangladesh. Bahasa Inggrisnya pun mudah dimengerti. Dia cukup tau Indonesia, bahkan ada Mi Goreng Indomie tersedia di mini marketnya.

Kami tidak berbincang-bincang cukup lama, karena hari sudah gelap, dan saya harus segera tidur agar bisa bangun sahur.

Keesokan harinya, kami sudah harus check-out sebelum jam 12, sedangkan waktu zuhur sekitar jam setengah satu. Karena takut ribet nggak tau bisa shalat di mana kalau di bandara, plus saya ketemu masjid juga di Google Maps tak jauh dari hotel, akhirnya saya izin pergi sebentar ke masjid sama sensei.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, saya menemukan gedung yang disebut sebagai masjid oleh mbah Google. Letaknya di basement, gelap dan terasa lembab. Hanya ada dua orang laki-laki paruh baya di sana. Sebelum saya masuk, tampak seorang perempuan mengenakan saree, tapi kemudian dia pergi ke bagian dalam dan tak tampak lagi.

Saya coba bertanya pada salah seorang laki-laki tersebut. Air mukanya mengeras melihat saya, tampak tidak suka. Saya tanya saja, apakah ini masjid? Dia menjawab bahwa tempat tersebut hanya untuk tempat shalat laki-laki. Saya bertanya lagi, kalau perempuan bisa shalat di mana. Dia menunjuk ke arah utara. Nggak tau juga ke mana. Saya curiga dia asal jawab saja.

Daripada memperpanjang dan jadi masalah, akhirnya saya pilih keluar dari tempat itu. Saya teringat dengan penjaga mini market semalam dan segera melangkahkan kaki menuju mini market tersebut.

Setibanya di sana saya bercerita mengenai masjid yang tadi dan bertanya apakah ada masjid yang bisa dimasuki oleh siapa saja?

Mas-mas tersebut mengatakan bahwa masjid yang saya sebutkan itu ternyata masjid khusus untuk kelompok tertentu. Baru tau saya, ada masjid seperti itu. Selama ini, saya pikir masjid itu tempat beribadah muslim dan muslim mana saja boleh beribadah di sana.

“Kalau mau, kamu shalat di sini saja. Di atas ada ruang kosong tempat saya taruh stok barang. Agak berantakan tapi cukup bersih untuk tempat shalat.”

Alhamdulillah, pertolongan Allah memang seringnya datang dari arah yang tak disangka-sangka. Tentu saja saya terima dengan senang hati. Mengingat waktu terus berjalan dan semakin mendekati waktu keberangkatan ke bandara.

Setelah shalat, saya kembali ke hotel untuk berangkat menuju bandara.

“Kamu tadi shalat di mana?” tanya sensei. Saya ceritakan saja kalau tadi nebeng ditawarin penjaga mini market buat shalat di ruangan atas mini market tersebut.

Mendengar jawaban saya, sensei tampak kaget dan bertanya apakah saya tidak takut?

Waktu itu baru terpikir, iya, juga, ya… nggak ada yang bisa menjamin, kalau orang tersebut bukan orang jahat. Tapi, waktu itu saya benar-benar nggak kepikiran. Yang terpikir, saya hanya ingin segera shalat.

“Yah, penjaga mini market tersebut juga muslim, kok, sensei! dan sesama muslim wajib saling membantu,” jawab saya ngasal. Padahal mah saling membantu itu, ya, sesama manusia, dong, harusnya… 😅

“Mungkin karena wajah kamu melas banget, bikin orang merasa kasian,” kata sensei lagi. Saya cuma cengengesan saja. Bingung juga mau jawab apa.


Tantangan Mamah Gajah Ngeblog kali ini, bikin terinspirasi buat menuliskan cerita pengalaman travel yang berkesan. Sesuatu yang jarang saya lakukan, karena seringnya prefer to enjoy the moment daripada capturing the moment, membuat saya jarang foto-foto dan menuliskan kembali kisah perjalanan.

*bilang aja maless wkwk*

Penulis:

To many special things to talk about... =p

18 tanggapan untuk “The Stranger I Met (Ep.3) – Saat Dalam Perjalanan Akademisi

  1. Wahhh…seru kakkkk…

    Mel juga sering baru sadar itu perlu diwaspadai pas orang nanya “ga takut mell..?”…

    Hahaa :))

  2. Pengalaman yg begini niiih, yang bikin semua perjalanan jadi terasa memorable ya mba. Aku jadi tahu kalo ada mesjid2 utk aliran khusus di sana. Tapi ada beberapa negara, yg mesjidnya juga cuma utk laki2 sih Yasa. Wanita ga boleh masuk. Sedih kalo ketemu yg masih diskriminasi gini.

    Traveling ketemu orang lokal yg baik2, bikin aku terkesan Ama negara tersebut. So far yg selalu ada di hati, Krn pernah punya pengalaman ditolong Ama warga lokalnya, itu di Jepang, Bangkok, dan Filipina.

    Bangkok malah yg nolongin Monks, pas aku nyasar, sementara dompet dan semuanya dipegang temenku yg terpisah dari aku. Saking baiknya si Monks sampe Kasih 20 bath buat aku bayar ongkos perahu 😂. Sejak itu sih, tiap ke Thailand, aku ga segan utk isi kotak2 amal yg biasanya selalu ada di kuil2 mereka. Ga peduli agamanya, anggab aja itu balas Budi Krn mereka sendiri ga segan membantu terlepas dr kepercayaan.

    1. Setujuuuu
      Malah kadang yg begini ini yg lebih seru dari itinerary-nya sendiri 😆

      Aku juga baru tau, Kak. Udah gitu yg aku alami orangnya jutek banget pula… kayak aku tuh dosa banget ada di situ… 😅

      Wah… Monks-nya baik bangett… padahal merek sendiri biasanya juga ga pegang duit banyak kan, ya? 😆

  3. Waaaw, penjaga minimarketnya baik banget, Kak 😍!! Dari mulai dapat gratisan beberapa barang sampai diberikan tempat untuk shalat. Astagaaa rezeki anak soleh banget buat Kak Hicha 🤣
    Terus aku jadi salfok karena dia sampai ingat Mie Goreng Instan Indonesia 🤣, ternyata mie goreng instan ini udah jauh banget mainnya yak sampai ke Yunani 🤣.

    1. Kayaknya udah sampai ke seluruh dunia, Liaaa 🤣

      Setau aku di Nigeria ada pabrik indomie buat pemasaran di Afrika, lhoo…
      *brb googling jangan2 salah 🤣🤣*

  4. Ya ampun baik bener Mas-mas minimarketnyaaa 😀 semoga dia sehat selalu yaa.. aku baru tahu juga di Athena bisa aja mesjid untuk kelompok-kelompok tertentu, mana mas-mas yang ditanyain ga ramah pula. Jiper ga sih Hicha dijutekin orang di negara lain pula haha..

    Di Indonesia juga kadang ada mesjid yang cuma boleh dimasuki kelompok tertentu. Aku ga inget detailnya tapi pernah diceritain sama temen yang ngalamin kejadian mirip Hicha, tapi di negara sendiri wkwk.

    Aku jadi inget pas ke Guangzhou, kan ke pusat tekstil gitu.. di dalamnya ada konbini, terus pas hari pertama ke sana aku beli kopi di konbininya. Yang jaga kasir ibu-ibu udah agak tua dengan bahasa inggris patah-patah, dia nanyain aku dari mana, pas aku jawab Indonesia dia bilang oh saya tau Indo wkwk.. pas hari keberapa lewat konbini lagi, si ibu lagi jaga kasir juga terus dia dadah-dadah ke aku dong.. sampe ditanyain sama temen “udah punya kenalan aja di sini” wkwkwk

    1. Jiper bangeeet
      Mana bahasanya aku ga ngerti pula… wkwkwk

      Iya, kayaknya ada masjid2 begitu. Pernah denger juga kalau ada masjid kelompok tertentu yg kalau dimasuki sm orang selain kelompok mereka, abis itu masjidnya di sama’. Dianggap najis gitu… heuheu

  5. wkwk Sensei ni bisa aja, masa karena wajah memelas haha.

    Yunani kayanya cantik banget ya Hicha, masih jadi bucket list ku juga nih. Gara-gara kebanyakan baca Asterix hehe

    1. Cantik dan berasa rileks, teh…
      Orangnya pada santai2. Ga nemu pemandangan orang buru2 kerja. Apa karena saya nginepnya di daerah wisata kali ya… Hahaha

  6. Ya ampun, saya deg-degan lho Teh Hicha, saat membaca bahwa Mas-mas Bangladesh pemilik minimarket mempersilahkan Hicha sholat di lantai atas tempatnya. :(. Syukur alhamdulillah ternyata beliau adalah orang baik ya Teh Hicha. 🙂

    Saya juga akan kaget seperti Sensei kalau tahu muridnya sholat di tempat orang asing, ehehe. Ah tapi syukurlah aman dan sudah berlalu, hanya saja, jadi kepingin bilang, lain kali jangan ya Teh Hicha. 🙂

    Btw, seru dan unik Teh pengalamannya berkunjung ke Greece. 🙂 Dan apakah betul, mungkin Teh Hicha tahu, di sana, setiap hari warganya makan dan minum dengan minyak zaitun?

    1. Iya, teh, kalau dipikir2 risky juga, ya, teh Uril 😅
      Kok ya saya baru ngeh setelah dibilangin sensei wkwk

      Selama di sana hampir semua saya perhatiin masakan pakai zaitun, teh.
      Nggak cuma minyaknya, tapi juga buah zaitun bulat2 😆

  7. Aku ikut deg-deg an waktu diceritakan ketemu orang yang terlihat tidak ramah itu. Tapi sih karena ini cerita sudah berlalu, aku tau ceritanya ga ada hal-hal buruknya. Menarik memang ya ketika bertemu sesama perantau di negeri orang. Penduduk lokalnya terkadang nggak lebih ramah daripada sesama pendatang.

Tinggalkan Balasan ke Hicha Aquino Batalkan balasan